|
Linda Christanty |
Saya ingin bercerita
tentang Linda Christanty, salah seorang penulis yang lahir di Pulau Bangka.
Saya senang
membaca karya sastra. Tapi terus terang saja, sangat jarang ada penulis yang
kesemua karyanya mampu membuat saya terpikat, sebelum saya menemukan nama
Linda. Sebelumnya, saya lebih banyak membaca buku—kumpulan cerpen atau
novel—yang diterjemahkan dari bahasa asing.
Pertama kali
mengenal nama Linda ketika saya masih semester satu. Suatu hari saya kehabisan
bahan bacaan dan memutuskan untuk mengacak-acak rak toko buku Gramedia di Jalan
Ratulangi, Makassar. Secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku bersampul
merah. Judulnya “Rahasia Bulan.” Awalnya, saya membeli buku itu hanya karena
tertarik dengan judul dan desain sampulnya. Tak lebih. Judulnya begitu
melankolis menurut saya. Buku tersebut merupakan kumpulan cerpen, yang ternyata
mengangkat satu tema: LGBT. Salah satu cerpen di dalamnya adalah tulisan Linda
yang berjudul “Mercusuar.”
Sungguh,
Mercusuar membuat saya terpikat. Diksi yang mengalir di dalamnya begitu indah.
Ada sederet kalimat dalam cerpen itu yang masih saya ingat hingga sekarang (tak
mampu saya lupakan): Dan kenangan akan aroma sama seperti trauma, selalu
tersimpan lama, sayup dan bangkit memenuhi benakmu oleh suatu peristiwa tak
terduga, seperti dampak sengat listrik voltase rendah. Tiba-tiba kau merasakan
ngilu di jantungmu ketika kotak ingatanmu terbuka…
Kalimat ini
entah mengapa begitu mengena di benak saya. Dan kalimat itu pula yang membuat
saya membuka halaman judul cerpen tersebut dan memelototi nama Linda
Christanty. Dari biodata penulis di halaman akhir buku, saya tahu bahwa Linda
pernah menerbitkan sebuah kumpulan cerpen berjudul Kuda Terbang Maria Pinto
(KTMP). Langkah berikutnya, ketika saya kembali ke toko buku, yang pertama saya
cari adalah KTMP. Sayang sekali saya tidak menemukannya. Stoknya habis.
Saya mulai
penasaran dengannya. Saya mencari namanya di google, dan google menunjukkan
saya alamat website pribadi Linda Christanty. Dari website tersebut, saya
mengopi semua tulisannya, cerpen dan essainya, mencetak di atas kertas HVS,
membawanya ke mana-mana dan menjadikannya bacaan yang gurih dan renyah. Dari
website itu pula, saya akhirnya menemukan KTMP, cerpen yang penuh metafora
membingungkan. (Saya ingat, saya pernah bertanya kepada Mbak Linda tentang apa
maksud dari negeri jeruk dan kopi. Dan ia menjawab dengan: “Ahahahaha… kamu
pembaca yang kurang peka.” Nyatanya—ia menjelaskan kemudian—negeri jeruk dan
kopi merupakan metafora dari Timor Leste. Saya termangu-mangu kagum campur
bingung).
Suatu hari,
Kak Liah salah seorang senior saya di identitas memberi kabar bahwa Linda
Christanty akan datang ke Makassar. Kebetulan ia berteman dengan Linda. “Mau
wansus tidak?” katanya kepada saya. Ini sebuah kebetulan. Waktu itu di
identitas jabatan saya adalah redaktur, yang berarti tugas saya adalah mengedit
tulisan para reporter, dan tak perlu lagi turun langsung melakukan wawancara.
Tapi senior saya itu tahu bahwa saya
selalu tergila-gila dengan penulis.
Linda sedang
ada undangan membawakan materi tentang jurnalisme di Makassar. Jadi saya
menungguinya di tempat acara berlangsung. Menunggu di dalam ruangan hingga ia
selesai membawa materi. Waktu pertama kali melihatnya dari jauh, saya berkata
kepada kepada Kak Liah, “Oh, Dia sekecil itu?” Kata Kak Liah, Linda Christanty
itu memang bertubuh mungil.
Saya bertanya
banyak hal tentang karir kepenulisannya. Hasil wawancara saya dengan Linda
Christanty kemudian dimuat dalam rubrik Wawancara Khusus di identitas. Kalau
tak salah, judulnya “Menulis untuk Orang Lain.” Judul itu saya ambil dari salah
satu petikan hasil wawancara: “Saya tidak setuju jika ada penulis yang berkata
bahwa ia menulis untuk diri sendiri. Bagi saya, menulis adalah salah satu cara
berkomunikasi dengan orang lain …”
Menurut Linda
pula, cerpen-cerpennya kebanyakan kisah nyata yang ia ramu dalam bentuk fiksi.
Kisah yang ia saksikan terjadi di sekelilingnya. Seorang teman bertanya tentang
beberapa cerpennya yang bertema lesbian. Katanya, ia sendiri seorang strong
hetero. Tapi kisah dalam cerpen tersebut benar-benar ada dan terjadi. Kisah
tersebut adalah milik salah seorang yang ia kenal.
Linda
Christanty orangnya ramah. Dan lucu. Sepanjang wawancara, jawaban-jawabannya
banyak diselingi dengan tawa ngakak. Juga dengan cerita-cerita lucu yang
membuat kami mau tidak mau ikut ngakak.
Kembali ke
soal tulisan Linda. Membaca kalimat pertama dari cerpen-cerpen Linda, saya
tidak bisa menebak ending dari kisah yang akan ia tuturkan. Hal yang tak pernah
saya temukan dalam karya penulis lainnya adalah gaya bertuturnya yang begitu
tenang dan santun. Ia tidak begitu menggebu-gebu dalam bercerita. Tapi di balik
gaya tutur yang tenang, siapa yang menyangka kalau ending dari ceritanya selalu
mampu membuat pembaca terhenyak. Terpukul, tersengat, terpesona, terkaget-kaget
atau ter apalah namanya. Tulisan-tulisan Linda sangat cerdas. Saya pikir, gaya
bertutur Linda mirip Umar Kayam dalam Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Semoga
saya tak salah.
Dalam bukunya
yang berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh, entah mengapa, sebelum membaca isinya,
kata pengantarnya telah membuat saya terpikat duluan. “Saya sendiri tak pernah
ingin pulang. Saya selalu ingin pergi.” (Ia bercerita tentang masa-masa
menjelang ayahnya meninggal). Buku ini berisi kumpulan esai Linda tentang
Politik, Islam dan Gay. Juga bercerita banyak tentang perjalanan Linda menuju
Aceh dan mengapa ia memutuskan untuk tinggal di Aceh. Sekarang Linda memimpin
kantor berita Aceh Feature.
Lalu untuk
apa saya membuat tulisan ini? Semata-mata untuk memberitahukan, bahwa Linda
menjelma menjadi penulis idola baru saya semenjak membaca Mercusuar-nya. Patut
diingat juga, dalam bidang sastra Linda telah banyak mendapat penghargaan
bergengsi. Tapi saya hanya ingin menyebutkan satu: Khatulistiwa Literary Award.
Penghargaan paling keren dalam bidang kesusastraan Indonesia. Bukan cuma
sekali, tapi dua kali. Pertama untuk kumpulan cerpen KTMP di tahun 2004 dan
kedua untuk kumpulan cerpen Rahasia Selma di tahun 2010.
Posting Komentar
5 Komentar
aku juga mulai menyukai tulisannya. terkadang aku bergdang tengah malam membca tulisan2 y d Aceh Feature...
untuk yg satu ini, mungkin kita punya kesamaan :D
ibnu
@Anonimous (siapakah gerangan dirimu): Rahasia Selma itu kumcer belakangan kok. Kumcernya Mba Linda yang pertama Kuda Terbang Mario Pinto :)