|
Mas Yayan memimpin di depan, disambut Pemangku Adat |
Kak Uthi,
teman seperjalanan saya dari Sulawesi Community Foundation (SCF) menuju Desa
Kaluppini, berpegang erat pada jok mobil sambil tak henti-hentinya merafal doa.
Wajahnya pucat. Saya ingin tertawa tapi tak sanggup. Rasa tegang memang telah
menyelimuti kami saat mulai masuk ke jalan desa. Sebelumnya, teman-teman dari
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel dan Massenrempulu (Enrekang) telah
memberitahu medan yang akan kami lalui menuju Desa Kaluppini. Tapi saat
menyaksikan sendiri, rasanya apa yang ada di depan mata jauh lebih menakutkan
dari apa yang mereka ceritakan.
Jalanan
menuju Kaluppini terbuat dari beton. Tapi lebarnya tak seberapa, tak bisa
dilalui dua mobil yang berpapasan. Hujan yang turun sejak siang hingga sore membuat
jalanan licin. Ada beberapa bagian jalan yang rusak. Mobil harus mendaki
tanjakan yang cukup tinggi, kemudian menuruni lereng terjal. Di beberapa bagian
adalah tikungan tajam. Di sisi kiri kanan jalan adalah jurang yang menganga.
Dapat dibayangkan bagaimana takutnya kami melewati tikungan tajam di sebuah
jalan beton yang sempit dan licin, di lereng gunung, sementara di sisi jalan
adalah jurang. Tantangan lainnya adalah menyeberangi sungai tanpa jembatan. Belum
lagi, sopir yang membawa kami sejak dari Makassar, tidak terbiasa dengan
kondisi jalan seperti ini.
Dari atas
ketinggian, kami masih sempat melirik ke sisi kiri jalan, pada hamparan
perbukitan yang hijau menyejukkan mata, dan pada ibukota Kabupaten Enrekang nun
di bawah sana. Indah, namun ketegangan membuat kami tak dapat benar-benar
menikmatinya.
Mobil yang
kami tumpangi tak bisa membawa hingga ke Kaluppini. Kepala Desa berserta
belasan ojek menunggu kami di bagian jalan datar, tempat kami menitip mobil di depan
rumah salah seorang warga. Desa Kaluppini masih sekitar 3 kilometer ke atas
puncak. Tapi tanjakan terlalu tajam dan jalanannya rusak.
|
Berfoto dengan Bupati Enrekang, Pak Muslimin Bando |
Desa
Kaluppini masuk ke dalam wilayah pegunungan Latimojong, gunung tertinggi di
Sulsel. Letaknya sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Desa ini dipilih
AMAN sebagai salah satu komunitas adat percontohan, karena keteguhan masyarakatnya
mempertahankan adat istiadat dan kearifan lokal. Hari itu, setelah berbincang
dengan Bupati Enrekang, Pak Muslimin Bando di rumah jabatan, kami bermobil
mendaki ketinggian untuk berkenalan dengan Komunitas Masyarakat Adat Kaluppini.
Dalam tim ada teman-teman dari AMAN Enrekang, Armansyah Dore dari AMAN Sulsel, Mbak Tea Marlina
Chandra dan Mbak Fadlun Saus dari Yayasan Persfektif Baru (YPB), Mas Gladi ‘Yayan’
Haryanto dari Kemitraan, Kak Uthi dan Kak Aji dari SCF, Kak Wahyu Chandra dari
Mongabay, serta beberapa wartawan yang diundang khusus dari Jakarta. Saya
sendiri mewakili JURnaL Celebes (Perkumpulan Jurnalis untuk Advokasi
Lingkungan).
AMAN saat ini
sedang mengadvokasi pembuatan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Enrekang.
Ranperda tengah dibahas di DPRD dan ditargetkan selesai sebelum 2016. Langkah
AMAN didukung Kemitraan, SCF, dan YPB. Enrekang adalah kabupaten kedua yang
sedang mempersiapkan Perda, selain Bulukumba. Di Enrekang, Komunitas Masyarakat
Adat Kaluppini yang didorong sebagai percontohan, sementara di Bulukumba adalah
Masyarakat Adat Kajang.
Melihat
dukungan Pemda, tampaknya target pengesahan Perda sebelum 2016 bukan hal
mustahil. Pak Muslimin Bando sendiri dengan tegas menyatakan dukungannya
terhadap perlindungan masyarakat adat. Muslimin mengungkapkan, masyarakat adat
punya peranan penting dalam pelestarian hutan. Enrekang kata dia, bagaimana pun
juga punya tanggungjawab moral untuk menjaga sumber air di Sulsel. Sebab dari
pegunungan Latimojong, mengalir Sungai Saddang yang merupakan sumber pengairan
lahan persawahan di beberapa kabupaten penghasil beras, seperti Pinrang,
Sidrap, Wajo, dan Palopo. Semua kabupaten tersebut adalah lumbung padi yang
menjadikan Sulsel sebagai salah satu provinsi penghasil beras di Indonesia.
Maka jika hutan rusak, sumber air akan terganggu yang secara otomatis akan
berpengaruh pada hasil pertanian di Sulsel.
|
Memasuki kawasan hutan |
Saat tiba di
perkampungan Masyarakat Adat Kaluppini, rasa tegang dan lelah hilang
menyaksikan sambutan warga. Mereka berdiri di tepi jalan menyambut kami. Tiga
orang lelaki paruh baya dengan pakaian adat berdiri di depan rombongan warga,
menyambut kedatangan kami dengan ritual adat. Mereka menari-nari, sambil
‘menggiring’ kami menuju sebuah aula yang biasa digunakan warga untuk
pertemuan. Ratusan warga, laki-laki dan perempuan, anak-anak, sudah duduk di
dalam, menyambut dengan hangat. Selepas pertemuan singkat itu untuk berkenalan
dan menyampaikan maksud kedatangan, kami menuju rumah Kepala Desa dan rumah Pak
Imam untuk beristirahat. Diskusi dengan masyarakat akan dilanjutkan malam nanti
selepas Isya.
Kerjasama yang Baik Antara Pemangku Agama dan
Pemangku Adat
Sejatinya,
agama dan adat istiadat adalah dua hal yang kontras. Sering kita saksikan bahwa
sebuah komunitas harus memilih untuk mempertahankan salah satu di antara
keduanya. Tapi di Kaluppini, sebuah hal yang unik terjadi. Ajaran agama dan
ritual adat berjalan bersamaan tanpa ada gesekan. Mayoritas penduduk di
Kaluppini beragama Islam. Mereka adalah pemeluk Islam yang taat. Perayaan hari
besar keagamaan selalu berlangsung dengan meriah. Semua ritual keagamaan yang
selalu dilaksanakan dengan khidmat, mulai dari perayaan Idul Fitri, Idul Adha,
Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, hingga salat Jumat berjamaah. Yang unik, mesjid desa
dibangun di atas puncak tertinggi.
Sementara
itu, ritual adat juga selalu berlangsung dengan meriah. Ritual adat yang paling
terkenal dan paling meriah bernama Pangewaran yang dilaksanakan delapan tahun
sekali. Pada setiap perayaan, ribuan orang akan memadati Kaluppini. Bukan hanya
warga Desa Kaluppini sendiri, melainkan juga pendatang dari luar. Anggota
keluarga yang mencari nafkah di Malaysia akan pulang kampung beramai-ramai
untuk menghadiri pesta adat ini.
Yang khas dalam ritual ini adalah ritual memanggil air. Dalam ritual tersebut, para pemangku adat akan duduk mengelilingi sumber air yang terletak di tepi hutan. Sekilas, sumber air tersebut bukan apa-apa, hanya tumpukan batu yang ditupi dedaunan kering. Namun dengan sebuah mantra yang dirafalkan para tetua adat, air bersih akan mengalir pelan keluar dari sebuah lubang di balik batu-batu tersebut. Warga yang hadir akan berkerumun, dan meminum air yang keluar dari lubang.
Pemimpin adat
Kaluppini dikenal dengan nama Tau Appa’
(empat orang). Mereka adalah Tomakaka, Khali’, Ada’, dan Imam. Tomakaka dan Ada’
adalah pemimpin dalam kelembagaan adat, sementara Khali’ dan Imam adalah
pemimpin di bidang agama. Dalam praktek pemerintahan, Tomakaka dipasangkan
dengan Khali’, sementara Ada’ berpasangan dengan Imam. Dalam kepercayaan
masyarakat Kaluppini, pasangan tersebut ibarat suami istri yang harus saling
menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Dalam tingkat Pemerintahan Masyarakat
Adat, tugas mereka adalah menjaga keharmonisan Kawasan Adat Kaluppini.
|
Rumah Adat Kaluppini |
Antara ritual
keagamaan dan ritual adat tak ada gesekan. Maka, di sinilah letak peran Imam
dan Pemangku Adat. Imam mengurusi ritual keagamaan, sementara pemangku adat
mengurusi ritual adat. Keduanya berjalan di jalurnya masing-masing. Pengikut
keduanya saling menghargai dan tak ada yang saling menentang. Tak heran jika
Pak Muslimin Bando menyebut Enrekang sebagai sebuah daerah dengan toleransi
tinggi. Jika dalam sebuah rumah tangga sang suami lebih mempercayai ritual
agama sementara sang istri lebih condong pada ritual adat, keduanya saling
menghargai dan bekerjasama. Hal ini, menurut Bupati dapat juga dilihat dari
letak wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja. Enrekang
yang penduduknya 90 % beragama Islam, tak pernah ada konflik dengan Tana Toraja
yang 90 % penduduknya beragama Nasrani.
Melek Informasi dan Teknologi
Meski
Komunitas Masyarakat Adat Kaluppini mendiami daerah pegunungan di ketinggian
800 meter di atas permukaan laut, jangan membayangkan mereka sebagai masyarakat
yang terbelakang dan gagap teknologi. Sebagai contoh, Pak Imam di Kaluppini
terampil berselancar di dunia Internet. Ia punya akun Facebook.
|
Nenek Sabiah, penjaga rumah adat yang bercakap dengan Bahasa Melayu |
Saat berada
di sana, saya kaget ketika smartphone saya menangkap sinyal wi-fi. Selidik punya selidik, sumbernya
dari pocket wi-fi milik Pak Imam. Ia
membagi-bagikan kami password untuk mengakses internet. Ia bilang sudah
membeali cukup paket data internet khusus untuk menyambut kami. Wi-fi itu selalu mengikuti ke mana pun
kami pergi. Saat tengah duduk di dalam aula yang berjarak sekitar 400 meter
dari rumah Pak Imam, Fa (Fadlun Saus) kaget, berpikir sinyal wi-fi nya kuat
sekali menjangkau sampai ke aula. Ternyata, Pak Imam yang duduk di dekat kami membawa
pocket wi-finya di dalam saku.
Keesokan
harinya saat kami menjelajah hutan, melihat beberapa situs sejarah dan
melihat-lihat lokasi hutan adat, dengan jumawa teman-teman memamerkan foto
terbaru dan update status di media
sosial masing-masing. Sambil tertawa-tawa tentu saja, sebab merasa lucu bisa
dapat akses internet di tengah hutan.
Tak hanya
itu, nyaris setiap rumah memiliki antena parabola. Setiap rumah punya tivi.
Masyarakat Kaluppini tentu saja tak pernah ketinggalan informasi, sama halnya
dengan mereka yang tinggal di kota.
Mempertahankan Kearifan Lokal
Sebagai
sebuah komunitas masyarakat, sebuah konflik kadang dapat dihindari. Biasanya,
konflik yang terjadi seputar sengketa tanah. Meski demikian, semua konflik
selalu bisa diselesaikan secara adat. Tak ada sengketa yang sampai melibatkan
pihak keamanan atau sampai ke pengadilan. Masyarakat Kaluppini percaya bahwa
menyelesaikan masalah secara adat adalah jalan penyelesaian terbaik.
Dalam mengelola
hasil panen, Masyarakat Adat Kaluppini punya aturan tersendiri. Mereka tidak
pernah menjual hasil panen, seberapapun banyaknya. Hasil panen disimpan di
lumbung penyimpanan. Peraturan ini berawal pada puluhan tahun silam ketika paceklik
dan kekeringan melanda Kaluppini. Tak ada hujan. Tanah kering kerontang. Sejak peristiwa
itu, Masyarakat Adat Kaluppini jadi lebih menghargai hasil panen dan makanan. Maka
tak heran pula, saat makan mereka tak pernah menyisakan sebutir pun nasi di
piring. Mereka belajar untuk mengambil makanan sesuai yang mampu dihabiskan.
Yang paling penting adalah bagaimana mereka
mengelola hutan. Masyarakat Adat Kaluppini sadar bahwa hutan adalah sumber kehidupan
mereka. Jika ada warga yang butuh kayu untuk bahan membangun rumah, mereka
hanya mengambil seperlunya. Jika berlebih, sisa kayu akan disimpan di rumah
adat dan kelak bisa digunakan oleh oleh warga lain. Di samping itu, terdapat
juga kawasan hutan adat, hutan yang masih perawan dan tidak boleh diganggu. (*)
|
Fa dan Tea selfie di hutan |
Posting Komentar
0 Komentar