Segelas Kopi Starbucks bersama Andreas Harsono di FX Sudirman


Senang sekali rasanya saya bisa bertemu dengan Andreas Harsono hari ini. Kami duduk di lantai 2 Mall FX Sudirman, di teras Starbucks yang menghadap ke jalan.

Saya bertemu Andreas pertama kali pada 2009 di Padang. Ketika itu, ia mengampu Pelatihan Jurnalisme Investigasi yang diselenggarakan oleh Ganto, koran kampus Universitas Negeri Padang. Di sana kami berkumpul bersama para anggota koran kampus dari beberapa kampus di Indonesia. Di sana, ia mengajarkan teknik investigasi dan metode penulisan dengan gaya Jurnalisme Sastrawi. Setelahnya kami bertemu lagi dalam sebuah pelatihan jurnalistik di Makassar ketika saya sudah bergabung sebagai koresponden di Koran Tempo Makassar. Ketika istri beliau, Mbak Sapariah Saturi ke Makassar (entah tahun berapa saya lupa), ia mengirimkan pesan di Facebook yang isinya, seingat saya: “Istri saya akan ke Makassar untuk mencari penulis untuk Mongabay. Jika ada waktu, bisa sempatkan bertemu dengannya?” Andreas berpikir, saya adalah orang Makassar dan saat itu saya sudah bekerja untuk NGO yang mengadvokasi isu lingkungan.

Andreas bagi saya adalah seorang guru. Bukan hanya karena Beliau pernah mengajarkan saya bagaimana cara menulis. Tapi ia selalu membuka wawasan.  Saya membaca banyak tulisannya, termasuk tulisan di blog pribadinya, andreasharsono.net dan tentunya, ia adalah seorang guru yang rendah hati dan terbuka, memotivasi untuk banyak belajar dan membaca.  

Siang itu, kami membincangkan banyak hal. Tentang Papua, tentang isu HAM, dan hal-hal remeh temeh lainnya. Saya pernah tinggal di Jayapura dalam satu tahun lebih terakhir. Dan ia juga punya perhatian tentang isu-isu Papua. Ia berteman dengan banyak orang Papua.

Ia meminta nomor kontak saya. Saat ia hendak mencatat nomor WhatsApp saya di gawainya, saya terkejut ketika saya menyadari bahwa ia masih menyimpan data saya, termasuk email. Dan yang membuat saya tertawa adalah, di bagian note, ia menulis: “… she refuses to wear jilbab.” I did refuse to wear jilbab, tapi saya tidak ingat jika pernah menyebutkan atau menuliskannya.

Lalu akhirnya, kami banyak ngobrol tentang jilbab dan  saya

Saya lahir dalam sebuah keluarga konservatif dan tradisional di Sulawesi Selatan. Dididik agama dengan keras. Bapak saya mengajar saya baca quran dengan sebuah lidi di sisinya. Lidi itu fungsinya untuk melecut saya jika saya mogok belajar di tengah jalan.

Saat kuliah, saya mengenakan jilbab karena saya pernah ketakutan akan masuk neraka. Namun pada akhirnya, saya menyadari bahwa jilbab itu tidak membantu saya dalam hal apapun. Saya melepasnya. Dan saya mulai berjalan ke sana kemari dengan celana yang penuh sobekan di sana-sini. Saya rasa, pada akhirnya, semua manusia akan mengalami transformasi, baik dalam hal mental maupun spiritual. Dan inilah saya.

Kakak laki-laki saya rajin mengikuti kajian agama sejak di bangku kuliah. Lalu ia pun menjalani transformasinya sendiri, ia berubah menjadi seseorang yang buat saya terasa asing. Ia senang mengenakan baju koko dan celana yang menggantung di atas tumit. Ia memanjangkan jenggotnya. Suatu hari, saya pernah mengancamnya. “Kalau kau tidak potong jenggotmu, nanti kau tidur, saya ambil gunting.” Ia murka. Rupanya jenggot yang hanya beberapa helai itu adalah segalanya baginya. Semacam sebuah identitas.

Pada akhirnya, kami saling menghargai pilihan hidup kami masing-masing. Kami menjadi dewasa dan saling memahami bahwa banyak hal yang mempengaruhi pilihan hidup yang kami ambil. Ia berjalan ke sana-ke mari. Mengajar orang-orang membaca quran dan memberi khutbah agama. Saya menghargainya.

Saya menghabiskan hari-hari saya dengan melamun, bekerja di NGO lingkungan, dan kadang-kadang menulis cerpen dan puisi untuk sebuah koran lokal yang membayar karya saya dengan harga yang hanya cukup untuk 2 cangkir kopi. Suatu hari, saya melihat ia membaca tulisan di laptop yang saya tinggalkan dalam keadaaan terbuka. Ia mengerenyitkan kening dan menatap saya dengan tatapan aneh, tapi tidak mengucapkan apapun. Sama seperti saya menganggapnya asing, saya tahu ia pun merasakan hal yang sama dengan dunia yang saya pilih. Tapi ia pada akhirnya tidak pernah mempertanyakan pilihan hidup saya, sama seperti saya yang juga tidak pernah mempertanyakan pilihan hidupnya.

Saat SMA, saya sekolah di sebuah SMA unggulan di Kota Bulukumba, Sulawesi Selatan. Memasuki  kelas dua pada 2005, sekolah saya mendapat label baru: Sekolah Percontohan Islam. Semua siswa perempuan harus mengenakan busana muslim. Kami di usia 16 tahun diminta memberi contoh cara berpakaian yang baik sesuai syariat. Bulukumba memberlakukan Perda Syariat Islam sejak 2001

Pada tahun 2019, saya hendak membuat KTP Elektronik. Saya datang dengan jumawa ke kantor Dinas Catatan Sipil Kota Bulukumba dengan riang gembira. Celana Panjang dengan kemeja. Seorang pegawai yang menerima saya berkata: “Maaf, tolong pulang dulu. Kami tidak bisa melayani jika Anda tidak pakai jilbab.” Kota Bulukumba menerapkan Peraturan Daerah

Buat saya, semua hal yang saya ceritakan tadi adalah kepahitan-kepahitan sosial yang mau tidak mau harus saya jalani. Kadang-kadang menyakitkan.

Saya menceritakan semuanya kepada Andreas.

Ia bercerita tentang grup WA yang ia ada di dalamnya. Isinya adalah orang-orang yang tidak setuju dengan aturan pakaian atas nama agama. “Meskipun ada juga perempuan yang secara genuine mengenakan jilbab,” kata Andreas.

Ia meminta saya berfoto dengan KTP. Foto KTP saya berjilbab. Mungkin bisa diupload ke media sosial dan saya menceritakan pengalaman saya ketika membuat KTP tersebut. Saya bilang, saya belum siap. Belum siap untuk bercerita. Belum cukup kuat untuk melawan.

 

Jakarta, Februari 2022

Posting Komentar

0 Komentar