Portal di kompleks perumahan kami
ditutup. Pak RT berjaga di sana
sepanjang hari, di sisi pos security. Saat ia kembali ke rumahnya
menjelang magrib, tugasnya digantikan oleh anak-anak remaja yang tampak senang
dan gembira nongkrong di sana. Mengawasi orang-orang yang lalu-lalang dan
menanyai yang hendak masuk ke area perumahan.
Barangkali mereka senang diberi
kesibukan pada masa yang menggelisahkan ini. Semacam tugas penting. “Orang
kompleks ki?” Itu pertanyaan mereka setiap ada kendaraan yang berbelok
ke arah perumahan. Di portal itu terpasang spanduk kecil, yang isinya kurang
lebih: “Dilarang Masuk Kecuali Warga Kompleks.”
Tugas anak-anak itu memang cukup
penting sebetulnya. Ketika tukang sayur muncul, salah seorang berlari ke depan
rumah-rumah, berteriak melengking, memberitahu ibu-ibu bahwa tukang sayur sudah
tiba di depan. Semacam pembawa pesan. Tukang sayur hanya boleh berhenti di
depan gerbang.
Pak RT dan warga sudah sepakat
untuk membatasi dan melarang orang-orang bertamu sementara waktu. Wabah makin
ganas. Di Sulsel, per 19 April 2020, jumlah kasus positif telah mencapai 370
orang, dengan 25 kasus meninggal. Sulsel tertinggi kelima di Indonesia. Dari
data tersebut, 193 kasus ada di Makassar.
Di rumah, aktivitas saya
sehari-hari makin membosankan. Tapi saya mulai bermanuver, tak lagi di depan
laptop saja. Beberapa hari sebelumnya, saat isu Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) mulai didengungkan, saya mengunjungi toko bahan kue. Kemudian saya
membeli oven dan mixer.
Ketika saya bosan memainkan jemari
di atas keyboard laptop, saya pindah ke rak buku dan mengelapi
permukaan-permukaannya dengan tissue. Social Distancing membuat saya
sadar bahwa ternyata saya punya banyak koleksi buku bagus yang belum saya baca.
Ketika saya bosan di depan rak buku, saya pindah ke dapur. Lama-kelamaan saya
khawatir: barangkali suara mixer menggilas adonan mentega bercampur telur, serta
aroma kue yang terpanggang di oven nyaris tiap hari, akan membuat tetangga
keheranan: “kenapa tiap hari kita mencium wangi kue di tengah wabah corona ini?”
Pagi tadi saya sangat ingin ke
pasar. Kami warga perumahan masih bebas keluar masuk. Tapi saya tidak enak hati.
Juga kasihan pada Pak RT dan anak-anak yang berjaga. Mereka pasti capek
membuka-tutup portal. Dan saya menghargai upaya Pak RT melindungi kami. Sedapat
mungkin saya tidak keluar kecuali untuk hal yang benar-benar penting. Saya
membatalkan niat saya.
Tapi saya lapar dan bosan dengan
stok makanan di dapur. Sudah beberapa hari saya hanya makan ikan kaleng dan mie
instan. Bahkan ketika penjual sayur dan jajanan datang (sebelum gerbang
ditutup), saya tidak lagi antusias membeli. Siapa yang tahu, sebelumnya mereka
jualan di mana? Apakah pembeli sebelumnya sehat semua? Saya rasa, wabah ini
membuat saya terlatih berpikir negatif dan was-was pada semua orang di sekitar
saya.
Tapi sungguh, saya benar-benar
lapar dan bosan dengan persediaan makanan yang ada. Oke, di samping gerbang ada
pasar kecil. Jualannya tidak lengkap memang, tapi tidak apa. Saya memasang
masker dan berjalan ke sana. Jaraknya hanya sekitar 50 meter. Saya
berpikir-pikir hendak membeli apa. Di sana saya minta sebungkus tempe kemasan,
beberapa batang wortel, dan beberapa butir kentang. Saya pilih ukuran yang kecil-kecil.
Sebab saya punya kebiasaan buruk, mengabaikan sayur di kulkas hingga membusuk. Juga
cabe dan tomat. Dan oh, rupanya ada yang jual pisang. Saya ambil sesisir. Hanya
itu saja yang tersedia di pasar sederhana itu. Penjual ikan belum datang,
kata penjual sayur.
Tiba di rumah, saya menggoreng
pisang dan membuat secangkir kopi. Bahan-bahan lain saya taruh begitu saja di
lantai dapur. Belum tahu akan saya apakan. Mugkin tempe itu akan saya goreng.
Setelah kopi ini habis, dan kafeinnya membuat sel-sel otak saya mampu bekerja
dengan luwes, saya akan memasukkannya ke dalam kulkas.
Saya kembali ke meja kerja dengan
sepiring pisang goreng dan segelas kopi hitam. Rasanya lumayan. Sambil minum
kopi, pikiran saya melayang pada dunia di luar sana. Kopi ini membuat perasaan
saya lebih baik dan melupakan hal-hal yang meresahkan. Tapi saya membayangkan
orang-orang yang masih berjuang di tengah wabah. Minggu lalu, saya melihat
tukang jamu yang memarkir sepedanya di pinggir jalan kemudian duduk dengan
lesu. Para tukang ojek memperlihatkan wajah muram.
Saya menyetel Gary Jules. Mad
World. Ini salah satu lagu favorit saya. Lagu yang mewakili segala perasaan
depresi dan gelisah. Well, saat ini saya tidak sedang depresi. Tapi lagu ini
cocok untuk orang-orang yang selalu mengamati dunia luar dan hatinya penuh
pertanyaan. Saya senang lagu ini jauh sebelum wabah melanda. Saya merasa
seperti berada di dalamnya.
All around me are familiar faces. Worn
out places, worn out faces
Bright and early for their daily races. Going nowhere, going nowhere
Suara Jules mengalun parau dan
sedih. Ini bukan lagu sedih sebetulnya. Tapi saya tidak menyarankan kamu
mendengarkannya saat sedang berada dalam masa galau. Sebab lagu ini bisa
mempengaruhimu untuk segera menemui Tuhan dengan damai, dan bertanya mengapa Ia
mengirimmu ke dunia. Kalau bosan dengar suara Jules, kadang saya mendengarkan
yang versi Imagine Dragons.
Saya penasaran apa yang sedang
dipikirkan Roland Orzabal saat menulis lirik itu. Mungkin ia gelisah. Atau
heran. (Atau ingin mengkritik sesuatu). Wajah-wajah yang sama. Mendatangi
tempat-tempat yang sama setiap hari. Macam berlari dalam lingkaran.
Berulang-ulang. Rat race. Tanpa jeda.
I find
it hard to tell you, I find it hard to take
When people run in circles it's a very very
Mad world, mad world
Orang-orang butuh rutinitas yang
membosankan dan berulang untuk bisa bertahan hidup.
Sekarang jalan-jalan sepi. Pasar-pasar
tidak seramai biasanya. Mall-mall tutup. Kegelisahan-kegelisahan pindah ke
rumah-rumah. Orang-orang kaya memperbanyak stok makanan. Orang-orang kecil
menjerit
Beberapa pesan masuk di WhatsApp
saya. “Kira-kira kapan semua ini berakhir?” Ada sopir. Ada pengusaha hotel. Ada
karyawan restoran langganan saya.
Saya jawab, “Saya tidak tahu.
Barangkali kita harus berlatih hidup seperti ini hingga vaksin ditemukan. Yang
berarti, masih akan lama.” Saya tahu, sebenarnya mereka bisa menjawab sendiri
pertanyaan itu. Mereka hanya butuh teman bicara. Pengusaha pariwisata adalah
yang paling terdampak. Padahal sektor ini penghasil devisa terbesar kedua di
Indonesia. Hotel-hotel sepi. Banyak yang tutup. Maskapai menutup banyak rute
penerbangan. Bus-bus terparkir. Supir tinggal di rumah.
“Saya tidak tahu mau bikin apa
untuk sementara waktu. Sepertinya ekonomi berjalan lambat sekali,” begitu kata
Wahyu Hidayat, salah seorang rekan bisnis saya. Saya mengandalkan ia untuk
mengantarkan tamu-tamu yang menggunakan jasa community-based travel agency
yang saya kelola. Ia seorang driver dan tour leader yang handal di
lapangan.
“Kamu yang sabar, semua ini ada
hikmahnya,” saya berusaha menenangkannya.
“Hikmahnya adalah: wabah ini
mematikan perekonomian,” balasnya putus ada. Wahyu harus membayar cicilan mobil
setiap bulan.
And I find it kinda funny, I find it
kinda sad
The dreams in which I'm dying are the best I've ever had
I find it hard to tell you, I find it hard to take
When people run in circles it's a very very mad world
Ketika menuliskan bagian lirik ini,
barangkali Orzabal begitu sedih dan bingung dengan hidupnya. Orzabal menciptakan lagu ini saat ia berusia
19 tahun. Masa-masa ketika ia mengalami perasaan teralienasi, mengenang depresi
masa kecilnya. Dalam wawancara dengan The Guardian pada 2013, Orzabal
mengungkapkan, ayahnya pernah ikut Perang Dunia II, menderita depresi, dan
cenderung kasar pada ibunya. Ketika Gary Jules menyanyikan Mad World untuk soundtrack
film Donny Darko pada 2001, Orzabal bersyukur atas depresinya di masa lalu.
Seringkali rasa sakit memunculkan kreatifitas.
Di internet saya membaca
berita-berita menenangkan. Ada foto langit Jakarta. Biru dan bersih dengan awan
putih berarak. Tidak lagi tertutup kabut polusi seperti biasanya. Air sungai di
Venesia jadi bersih. Penyu-penyu di Brazil menguasai pantai dengan tenang.
Berang-berang liar di Inggris mulai terlihat kembali setelah ratusan tahun. Ilmuwan
mengingatkan kita untuk menghormati kehidupan alam liar jika ingin terhindar
dari serangan pandemi berikutnya di masa yang akan datang. Hidup akan lebih
tenang saat kita menghargai alam.
Akan tetapi, seberapa pun
menenangkannya berita-berita itu, wabah ini harus tetap hilang. Manusia butuh
rutinitas berulang dan menjemukan untuk bertahan hidup, sekalipun semuanya
berjalan dengan begitu gila. Tapi jeda sesaat, semoga dapat menghilangkan
kegilaan yang terlanjur dianggap sebagai hal biasa. Kita harus belajar
menghargai mahluk lain tanpa perlu menunggu ancaman virus mematikan.
Kopi saya habis. Saya kembali ke
dapur untuk menyiapkan cangkir kedua.
Tulisan ini telajh dimuat di: rumah-kecil.com
Posting Komentar
0 Komentar