“Siapa kah yang harus bertanggungjawab terhadap
penggundulan hutan di Mahalona Raya itu?” ucap saya semalam kepada teman-teman di Perkumpulan Wallacea, di
Palopo.
Saat itu
kami duduk bersama mengitari meja panjang, diskusi soal strategi menyusun peraturan desa di Desa Buangin,
salah satu desa di Mahalona Raya, Kecamatan Towuti. Dalam perdes tersebut
nantinya akan diatur bagaimana menyelamatkan hutan dan daerah tangkapan air
untuk menyelamatkan lingkungan Desa Buangin.
“Pemerintah,”
jawab Kak Basri, Kak Enal, dan Rais bersamaan.
“Pemerintah
yang mana?” saya bertanya lagi.
“Siapa
saja,” jawab mereka sekenanya.
Memandang
Mahalona Raya dan sekitarnya dari ketinggian memang bikin putus asa. Pedesaan
itu berada pada sebuah lembah
yang luas. Di sekelilingnya oleh perbukitan bertanah merah, tampak subur
dan seperti sanggup menumbuhkan tanaman apa saja. Nyaris tak ada lagi bagian
yang masih tertutupi pepohonan
dengan rapat. Hutan
sudah habis ditebangi untuk dijadikan kebun merica. Nun jauh, tampak
pucuk-pucuk gunung berwarna biru, menjulang. Kadangkala di balik gunung-gunung
itu nampak asap mengepul. Hutan dibakar.
“Kalau saya
jadi pemerintah, saya akan tangkap semuanya. Tak perduli siapa pun pelakuya.”
“Sebelum
kamu tangkap mereka, kamu akan ditangkap duluan. Ha-ha-ha!” kata Rais sambil
tertawa terbahak-bahak. Kak Enal dan Kak Basri ikut tertawa.
Saya tidak mengerti apa maksudnya.
Tapi bagi teman-teman saya ini, bagi kami, kondisi di Mahalona Raya
memang hanya bisa ditertawakan. Sebab kami menyaksikan semuanya dari tempat
yang sangat dekat, namun
nyaris tak sanggup melakukan apa-apa.
Tak ada yang
begitu istimewa dengan Mahalona, dibandingkan daerah-daerah lainnya yang pernah
saya kunjungi. Jika saya begitu antusias membuat tulisan panjang tentang daerah
ini, itu lebih dikarenakan oleh sebuah rasa prihatin. Saya melihat Mahalona
seperti sebuah wajah cantik yang penuh dengan luka-luka menganga. Ia dilukai dengan sengaja. Pada akhirnya yang tersisa dari
kecantikannya hanya borok.
Saya
berkunjung ke Mahalona pertama kali pada awal tahun 2016. Ketika itu, kami
sedang mencari daerah atau desa terpencil yang miskin dan membutuhkan sumber
listrik. Kami menawarkan bantuan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH) dari Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia).
Lembaga tempat saya bekerja, JURnaL Celebes, adalah salah satu yang terpilih
untuk menjalankan program dari MCA-Indonesia.
Desa Buangin
adalah desa yang direkomendasikan oleh Pak Aswan Azis, Camat Towuti ketika itu.
Kami kemudian menjalin
komunikasi intens dengan Kepala Desa Buangin, Pak Rahmat, yang kebetulan adalah
seorang mantan wartawan
di Makassar. Ia pindah ke Luwu
Timur selepas menikah belasan tahun silam. Dari Pak Rahmat, kami tahu
bahwa desa tersebut memang punya potensi air yang cukup. Pada Februari 2016,
kami datang ke sana untuk melihat potensi sungai; mengukur debit air dan ketinggian.
Mahalona, adalah nama sebuah desa di
Kecamatan Towuti. Luasnya 409,41 kilometer persegi. Mahalona adalah desa
terluas di Kecamatan Towuti. Ia mengambil porsi 19 % dari total luas kecamatan.
Pada penghujung tahun 2012, Mahalona dimekarkan menjadi 5 desa: Tole, Kalosi,
Libukang Mandiri, Buangin, dan Mahalona sendiri. Kelima desa tersebut kemudian
disebut sebagai Mahalona Raya. Dari kelima desa tersebut, 3 desa di antaranya
dijadikan pemukiman transmigrasi. Pasca pemekaran tersebut, Pemerintah Daerah
mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa dan Bali. Desa Mahalona dan Tole, yang
tidak masuk kawasan transmigrasi biasa disebut desa tua.
Mahalona adalah sebuah daerah yang
subur, bertanah merah gembur. Ia diapit oleh beberapa danau. Danau Matano,
Towuti, Malili, dan Danau Mahalona. Barangkali kondisi ini yang membuat tanah
Mahalona sangat subur. Orang-orang Mahalona adalah petani. Mereka mengolah
sawah dan ladang. Namun awalnya, sebelum pertanian marak, para lelaki dewasa bekerja
sebagai penebang kayu. Mereka memilih-milih kayu yang besar dan bagus di dalam
hutan, menebang, lalu menyeretnya ke pemukiman. Kadang menggunakan arus sungai
untuk memudahkan membawa kayu dari hutan. Di Towuti ada oknum pengusaha yang
terkenal dan namanya selalu membuat keder saat disebut. Ada beberapa orang.
mereka ini yang menadah kayu dari para penebang, dan menjadi kaya raya
karenanya.
Sekitar tujuh tahun belakangan,
pertanian merica jadi tren karena harganya yang sangat tinggi. Sekilo bisa
mencapai Rp 150 ribu. Maka masyarakat Mahalona pun beramai-ramai berkebun
merica. Ada yang menanam di lahan sendiri. Ada yang menanam di lahan yang masuk
kawasan hutan. Ada yang memanfaatkan kondisi ini dengan membuka lahan, menanam
merica dan memperjualbelikan lahan yang sudah ditanami. Lama kelamaan, nyaris
tak ada lagi kawasan yang benar-benar masih tertutup pepohonan. Semuanya telah
dibuka untuk pertanian merica. Sementara pembalakan hutan, tetap berjalan
seperti biasa.
Saat keluar
dari Mahalona minggu
lalu, Pak Hidayat Sela yang akrab dipanggil Pak Opik, numpang di mobil kami. Ia
salah seorang petani merica sukses di Desa Buangin. Sore itu ia hendak menengok
kebun mericanya di Timampu namun tak sanggup menyetir sendirian. Timampu adalah
sebuah desa di pinggir Danau Towuti, sekaligus jadi nama pelabuhan di sana. Saya dan teman-teman
pakai mobil double cabin sewaan dari
Malili. Mobil jenis lain tak bisa melewati jalanan ke Mahalona Raya. Hujan
turun nyaris tiap hari. Jalanan macam kubangan. Becek dan berlumpur. Di
beberapa bagian banyak genangan yang cukup luas dan dalam, mirip kolam.
Sepanjang perjalanan, kami menemukan 4 unit truk mogok dan tenggelam di dalam lumpur. Sopir dan
kernet terengah-engah mengangkat ban dengan tuas besi, agar bisa keluar dari kubangan
lumpur.
“Tolol ki memang sopirnya. Sudah tahu jalanan
rusak, masih nekat juga bawa muatan melebihi kapasitas,” ucap Pak Opik sambil
menunjuk-nunjuk ke arah truk. Ia duduk di sisi saya di bak belakang mobil. Saya
menggunakan kesempatan itu bertanya banyak hal.
Pak Opik
punya lebih dari 2.000 pohon merica. Kebunnya berhektar-hektar. Tapi yang
paling banyak ia ceritakan adalah yang di Timampu. Ada 700 pohon di sana. Saya
bertanya seberapa besar penghasilannya tiap bulan dari berkebun merica. Ia
bilang, dari 700 pohon dari kebun
yang di Timampu itu, sekali panen ia terima Rp 270 juta. Dalam semusim, pohon
merica berbuah selama 3 bulan penuh. Setiap bulan panen 2 kali. Setiap pohon
bisa menghasilkan 5 kilogram setiap panen.
Saya enggan
menanyakan penghasilan Pak Opik dari kebunnya yang lain. Yang di Timampu itu
sudah cukup sebagai gambaran. Saya takut kepala saya jadi pening sendiri gara-gara sibuk
menghitung-hitung penghasilan Pak Opik dari semua lahannya.
Apa yang memotivasi Pak Opik
berkebun merica?
Ia bercerita, yang membuat
orang-orang Mahalona termotivasi berkebun merica adalah para petani di
Bantilang. Itu adalah nama sebuah desa di Kecamatan Nuha, di tengah Danau
Towuti. Desa ini bisa ditempuh dengan berperahu sejam lamanya dari Pelabuhan
Timampu. Kata Pak Opik, ia pernah ke bank di kota kecamatan dan melihat seorang
petani dari Bantilang di sana.
“Mereka tampak kotor. Penampilan
semrawutan. Sepatu boot penuh lumpur. Pakaian petani. Tenteng kantong kresek
hitam. Tapi begitu masuk bank, para karyawan di bank semua menoleh dan
tersenyum padanya. Ia langsung menghempaskan kantong kresek itu di meja teller.
Kantong kresek itu penuh berisi uang pecahan seratus ribuan. Sontak, seorang teller
memanggil temannya yang lain untuk bantu hitung. Merica yang bikin mereka
begitu,” kata Pak Opik.
“Apa kita tidak sakit hati, liat
mereka?” tambahnya.
“Uang hasil penjualam merica itu
mereka apakan?” tanya saya. Saya masih penasaran, bagaimana para petani yang
umumnya tak punya keahlian manajemen keuangan memperlakukan uang yang mereka
peroleh.
“Beli mobil,” jawab Pak Opik pendek.
“Mobil Pak Opik sendiri sudah berapa
buah?”
“Baru empat,” jawabnya. Saya tertawa
keras karena mengira ia bercanda. Kemudian saya jadi malu sendiri ketika
menyadari Pak Opik sama sekali tidak bergurau soal punya mobil empat unit.
“Tiga mobil off road, satu mobil grandong,” tambahnya. Yang ia maksud mobil grandong adalah mobil
yang jelek, setidaknya lebih jelek dibandingkan mobil-mobilnya yang lain.
Saat tiba di depan rumahnya yang
sederhana di Timampu, ia berbasa-basi mempersilahkan kami mampir. Jika malam
belum turun, barangkali saya akan benar-benar mampir karena penasaran melihat
kebun mericanya. Di samping rumahnya terparkir sebuah mobil Toyota Avanza
terbaru berwarna merah. Itulah yang dia sebut sebagai mobil grandong.
Jalan Panjang ke Mahalona
Menurut Kepala Desa Buangin, Pak
Rahmat menilai, pertanian mericalah yang paling berkontribusi terhadap penggundulan
hutan. Efeknya jauh melebihi illegal
logging. “Illegal logging hanya
mencari kayu besar. Sementara perkebunan merica tidak pandang itu,” ucapnya.
Apa yang disampaikan Pak Rahmat ada
benarnya. Perkebunan merica tak pandang kayu besar atau kecil. Sebab kebun,
membutuhkan tanah kosong. Segala pohon, tanpa pandang ukuran, dibakar hingga
jadi abu. Sisa-sisa pembakaran akan membuat tanah jadi makin subur untuk kebun
merica.
Cerita lain saya dapat dari Pak Alex.
Ia juga punya lahan merica tapi tak banyak. Hanya 1 hektare lebih, yang sudah
dipetak-petak, dibagi sama rata berdasarkan jumlah anaknya. “Uang merica itu
panas, Pak. Memang sekali jual banyak, tapi nanti habis juga uangnya tak tau
kemana. Hahaha,” Ucapnya.
Ketika saya bertanya tentang
maraknya perusakan hutan, ia hanya bicara sedikit dan terlihat sangat
hati-hati. “Nanti kalau kamu mau menulis sesuatu, jangan sebut nama saya. Saya
masih mau hidup lama. Istri saya masih muda,” katanya setengah bercanda. Ia
tertawa terbahak-bahak sambil menoleh ke istrinya yang saat itu sedang melintas
dari teras menuju dapur.
“Kalau nanti ada bencana alam, yang
paling kena adalah warga di sini kan?” kata saya.
“Yaaa. Itu saya tau. Tentu saja kami
yang kena. Para perambah itu kan tinggalnya di luar.” Ia menghisap kreteknya
sejenak sambil melanjutkan, “Itulah pemerintah. Kalau rakyat kecil seperti kami
yang masuk hutan, kami dikejar tanpa ampun. Katanya hutan lindung, dilarang
masuk. Tapi kalau orang berpangkat yang masuk buka kebun, dibiarkan saja. Kamu
pikir pemilik lahan di atas sana siapa? Orang berpangkat, Pak!” saat
mengucapkan kata ‘berpangkat’, ia memegang pundaknya, lalu kembali tertawa
terbahak-bahak seolah apa yang diceritakannya adalah lelucon.
Saya tidak tahu siapa yang ia maksud
dengan orang berpangkat. Juga tidak tahu tentang kebenarannya.
Pak Alex bilang, di Mahalona ada
orang yang punya lahan sampai 500 hektare. Tapi saya tidak percaya. Saya tidak
percaya ada orang punya lahan seluas itu. Saya tidak percaya sampai saya
bertemu Mr. X.
Mr X
Pada 17 Agustus 2017, saya meminta
Pak Adi menemani kami ke Danau Mahalona. Teman saya, Sharif, hendak bikin film
dokumenter. Pak Adi bilang, bagus sekali jika ia ambil gambar danau sambil
berperahu.
Danau itu berada di wilayah Desa
Tole, desa pertama yang akan kita temui saat menuju Mahalona Raya dari Wawondula.
Danau Mahalona merupakan muara dari beberapa sungai kecil di Mahalona. Air dari
Danau Mahalona, mengalir ke Danau Towuti. Antara kedua danau itu, terdapat
sebuah sungai yang tenang dan hening berwarna kehijauan. Di atas sungai itu
terdapat sebuah jembatan. Jika kita telah melintasi jembatan tersebut, artinya
kita telah tiba di perkampungan Desa Tole.
Pada 17 Agustus itu, kami berdiri di
atas jembatan. Saya, Sharif, Wandi, dan Pak Adi. Kami melihat ke sisi sungai di
bawah jembatan. Tampak beberapa orang sedang duduk di atas dahan sebuah pohon
sambil memegang pancing. Ada seorang ibu dan anaknya sedang mencuci pakaian di
bawah jembatan. Ada pula seorang pria berenang ke sana-ke mari sambil memegang
tombak ikan. Juga ada sebuah perahu yang tertambat di tepian tapi tanpa
pemilik. Kata Pak Adi, jika tidak dapat perahu, satu-satunya jalan ke Danau
adalah dengan jalan kaki menyusur tepian sungai itu. Tapi itu berarti kita
harus melintas di kebun Mr X.
Dari wajahnya saya tahu ia khawatir.
Tantangan terberatnya bukan karena kami harus jalan kaki beberapa kilometer untuk
ke danau, tapi karena kami harus melintas di jalan kebun milik Mr X. Pak Adi
bilang, Mr X sudah memasang palang di jalan kebunnya. Orang-orang tak bisa
lewat sana. Sebabnya, beberapa kali ia menemukan pemancing memotongi pelepah
sawitnya untuk bernaung. Ia murka dan memasang palang kayu. Saya tau Pak Adi
tak akan berani meminta izin melintas. Saya sendiri tak kenal Mr X. Tapi orang-orang
selalu menyebut-nyebut namanya. Kemudian saya tahu, ia adalah salah satu orang
terkaya di Towuti.
Kami sudah bermenit-menit berdiri di
atas jembatan sambil menatap aliran sungai yang tampak menggoda direnangi. Pak Adi
tak juga mengambil tindakan apa-apa. Banyak waktu kami habis di atas jembatan
itu. Akhirnya saya berinisiatif turun ke sisi sungai di belakang perumahan
penduduk. Di sana, saya duduk di atas sebuah tumpukan balok kayu, menunggu
penombak ikan itu kembali ke tepi sungai. Saya hendak tanya soal perahu yang
tertambat itu. Apakah ada pemiliknya dan bisa kami sewa?
Tapi penombak ikan itu tak kunjung
kembali ke tepi. Ia malah makin bergerak ke tengah. Rupanya belum ada ikan yang
berhasil ditombaknya. Saya tidak tahu apakah ia jadi lama karena belum dapat
ikan, atau karena malu melihat saya duduk di tepi sungai. Sebab belakangan saya
tahu, ternyata ia hanya berenang dengan kolor.
Setelah menunggu sekitar 15 menit,
saya beranjak dan kembali ke jalan, hendak kembali ke atas jembatan tempat teman-teman
saya menunggu. Saya pikir, saya juga bisa bertanya pada warga. Tapi saya tidak
melihat seorang pun di dalam rumah-rumah itu. Ada 3 buah rumah di sisi kiri
jalan sebelum kita tiba di jembatan. Di sebelah kanan adalah perkebunan merica
dan sebuah pondok kayu. Sepertinya pondok pekerja merica. Sebab di halaman
pondok itu saya melihat seorang wanita sedang menjemur biji merica.
Saat tiba di jalan, saya melihat
seorang pria tua berjalan beberapa meter di belakang saya. Saya sengaja
memperlambat langkah agar bisa bicara padanya.
“Pak, saya mau tanya. Kalau mau
jalan kaki ke danau, bisa lewat mana?” saya bertanya saat ia dekat, sambil
terus berjalan.
“Kamu mau ke danau?”
“Ya, Pak.”
Ia menunjukkan jalan tanah di depan
halaman pondok itu. Jalanan yang tembus ke hamparan ladang merica. Di gerbang
jalan itu terdapat sebuah palang kayu yang dalam keadaan terbuka.
“Jauh lho kalau jalan kaki. Tidak
pakai motor saja?”
“Memangnya motor bisa lewat Pak?”
“Bisa. Kamu berapa orang.”
“Empat orang, Pak.”
“Baik. Itu jalan punya saya. Kamu
lewat saja. Tapi mampir dulu ke sini, biar saya kasih pengarahan,” katanya
sambil berlalu menuju pondok itu. Hati saya riang. Saya memanggil teman-teman
saya yang masih berada di atas jembatan. Mereka mendekat dengan cepat dan saya
tuntun menuju pondok itu. Lima menit kemudian saya tahu bahwa pria itu, yang
awalnya saya kira buruh pekerja merica, adalah Mr X.
Saya menapaki tangga kayu ke beranda
pondoknya. Ia masuk ke dalam sebentar, kemudian keluar lagi. Ia duduk di sebuah
kursi dan mempersilahkan saya untuk duduk dengan ramah. Di sela-sela jemarinya
terselip sebuah rokok dengan asap mengepul. Saya duduk pada sebuah bangku kayu
panjang di hadapannya dan teman-teman saya mengikuti. Di atas pondok kayu itu,
kami duduk sekitar 30 menit. Ia banyak berbicara dan kami hanya jadi pendengar
sambil mengangguk-angguk.
“Di belakang sana itu lahan saya,”
ia membuka pembicaraan. “Saya sengaja pasang palang. Karena banyak pemancing
yang masuk ke sana. Pohon sawit saya dirusak. Bahkan ikan di empang saya juga
dipancingnya. Kalau kamu mau ke sana silahkan. Pemandangan di sana cantik.
Pasir putih. Saya juga ada bikin permandian di sana. Mampir saja kalau mau.”
Mr X kemudian bercerita banyak soal
Mahalona. Ia menceritakan awal mula pembukaan kawasan transmigrasi di sana.
Saya banyak mendengar bahwa
pemekaran Desa Mahalona sarat nuansa politis. Nuansa politis macam apa, saya
tak mengerti. Tapi hari itu, Mr X menuntaskan rasa penasaran saya.
“Dulu, waktu pilkada, saya bilang ke
Pak Gubernur, ‘kalau Mahalona dimekarkan, saya jamin Bapak menang di Luwu
Timur. Karena memang itu (pemekaran) yang diinginkan masyarakat. Tapi kalau
tidak dimekarkan, saya tidak jamin.’”
Saya mencerna kata-katanya.
Barangkali itu yang dimaksudkan orang-orang dengan ‘tujuan politis’. Mr X
banyak bicara soal dunia politik. Ia memang berpenampilan seperti petani yang
jauh dari dunia politik. Tapi dunia politik adalah dunia yang tak asing
baginya. Dan satu lagi, ia salah satu orang terkaya di kecamatan itu.
Barangkali bahkan di Kabupaten Luwu Timur. “Minggu lalu Pak NH ke rumah saya
untuk konsultasi,” katanya lagi.
Saat matahari tepat berada di atas
ubun-ubun, sepertinya ia tersadar bahwa kami sudah terlalu lama duduk di atas
pondoknya. “Kalau mau berangkat sekarang, berangkat saja,” katanya kemudian.
“Jangan lupa mampir lagi. Kalau kalian mau bakar-bakar ikan, ke sini saja,”
katanya panjang lebar. Mr X punya empang. Mungkin ia ingin mengajak kami
menangkap ikan dari empangnya jika memang kami benar-benar berminat dengan
tawarannya. Tapi tentu saja tawaran itu sekedar basa-basi.
Turun dari tangga kayu pondok itu,
kami mulai menyusur jalan setapak dengan sepeda motor. Ban motor melaju dengan
tidak stabil. Jalanan licin. Di banyak bagian, ban motor tenggelam ke dalam
lumpur. Saya harus turun dari boncengan dan mengangkat pantat motor untuk
membebaskan bannya dari cengkeraman lumpur. Ketika tiba pada bagian genangan
air yang luas, kami memarkir motor dan berjalan kaki. Genangan air cukup dalam,
cukup merendam saya hingga lutut. Namun cukup jernih hingga kami dapat melihat
rumput hijau kekuningan di dasarnya. Ini air genangan dari danau. Di dalam
genangan air itu, tanaman kelapa sawit tumbuh berderet. Kurus dan tak subur.
Mungkin area tepian danau yang penuh genangan ini tak cocok untuk sawit. Saya
sama sekali tak melihat hamparan pasir putih di sana seperti yang dijelaskan Mr
X.
Ketika saya menceritakan kepada Eko
Rusdianto, teman saya yang seorang penulis dan wartawan lingkungan, ia bilang,
sebentar lagi genangan air itu akan habis. Dan tepian danau itu akan menjadi
kering kerontang. “Sawit adalah tanaman yang rakus air,” katanya. Konon bahkan
sawit bisa membuat sungai-sungai jadi kering. Saya sendiri tak paham soal itu.
Barangkali sawit ini juga milik
Mr.X. Baru saja ia bilang ia menanami lahannya dengan sawit dan merica. Tapi
Pak Adi membantah. Ia bilang, kalau punya MR X, tanaman itu tak akan tampak
menyedihkan. Katanya, Mr X adalah orang yang rapi. Dan disiplin. Bahkan saat
menjejerkan bibit tanaman di kebunnya, ia sangat rapi. Tak ada sepohon pun yang
keluar dari garis lurus jejeran tanaman. “Coba saja lihat jejeran tanaman
mericanya,” katanya lagi.
Saat kembali dari danau, saya
memperhatikan lahan merica di sisi kiri jalan. Benar saja. Tiang-tiang
penyangga berderet dengan sangat rapi. Sama tinggi, sama besar. Pak Adi bilang,
pernah suatu ketika Mr X punya pekerja yang tidak rapi dalam bekerja, maka ia
akan langsung memecatnya.
Soal tepian danau yang penuh
genangan itu, Pak Alex punya cerita lain lagi. Ia bilang, dulu tepian danau itu
adalah tempat para buaya menyambut pagi. Mereka berjemur di sana, dan kembali
ke air begitu matahari beranjak naik. Kadang juga jadi tempat mereka menyimpan
telur-telurnya sebelum dierami. “Tapi itu dulu, saat hutan masih lestari.
Sekarang juga masih tapi sudah jarang,” katanya.
Pak Alex tertawa geli saat saya
bilang saya merasa prihatin dengan buaya-buaya itu. Mungkin ia pikir saya
bergurau. Tapi saya tulus mengucapkannya. Terlepas dari mereka adalah jenis
binatang buas yang seram dan bisa mematikan dalam sekejap, saya tetap merasa
iba. Sebab sebagaimana manusia, mereka juga makhluk hidup yang butuh tempat
berlindung. Jika hutan habis dirambah, danau jadi dangkal karena sedimentasi,
air tercemar polusi, bukankah mereka juga akan merasakan merana dan putus asa?
Saya takut buaya tentu saja. Tapi saya ingin mereka tetap hidup dengan damai
tanpa terganggu kehadiran manusia.
Danau Mahalona, memang habitat bagi
buaya. Dulu, sebelum manusia mulai banyak pindah ke Mahalona dan membangun
kehidupan, konon mereka hidup beranak-pinak dengan gembira. Buaya sangat
gampang ditemukan di pinggiran-pinggiran sungai dan danau. Dan mereka tidak
mengganggu manusia. Ketika para penebang kayu menghanyutkan kayu di sungai,
mereka selalu bertemu dengan buaya. Dan kedua makhluk berbeda jenis ini tak
saling mengganggu, hidup harmonis di habitatnya masing-masing. Bahkan ada yang
bilang, para penebang kayu menghanyutkan kayu gelondongan di sambil mendorong
dari atas punggung buaya. Entah benar atau tidak, saya tidak tahu. Tapi di
daerah-daerah pedalaman, kadang memang banyak hal yang tak mampu kita pahami
dengan baik tanpa mencernanya.
Pak Alex bilang buaya tidak suka
makan manusia. Buaya hanya makan binatang.
“Tapi selama ini?” ucap saya
membantah.
“Jika buaya makan orang, artinya
orang itu terlihat seperti binatang,” ucapnya serius.
Pak Alex bilang, tiap-tiap orang
punya sifat binatang dalam dirinya. Pada sebagian orang, bahkan sifat binatang
itu lebih dominan dari sifat manusianya.
Ini pelajaran baru yang saya dapat
dari Pak Alex. Lelaki berkulit hitam dan berbadan kecil itu memang senang
bercerita akan banyak hal. Dan saya sangat senang mendengar setiap ceritanya. Pak
Alex senang menunjukkan banyak hal, terutama kepada orang yang baru datang ke
desanya.
Suatu hari, ia mengajak saya berkunjung
ke kebunnya. Kami menyusur jalan setapak, berjalan cukup jauh, membelah semak
dan menyeberangi sebuah sungai kecil. Saat pulang, saya baru sadar bahwa
sebenarnya ada jalan memotong yang jaraknya lebi dekat. Tapi bagi Pak Alex,
semakin jauh jarak yang kami tempuh, semakin banyak hal yang bisa ia
perlihatkan kepada saya.
Saat ini, sudah berbulan-bulan saya
meninggalkan Mahalona. Kegiatan kami sudah selesai di sana. Tapi saya masih
sering memikirkannya. Menyayangkan kesengsaraannya. Mahalona, dalam imajinasi saya,
adalah sebuah wajah yang kini penuh luka-luka. Luka yang bisa dilihat kebanyakan
orang. Tapi sisa-sisa kecantikan masih ada di sana. Saya membayangkan akan seperti
apa wujudnya seandainya tempat indah itu tak pernah dirambah manusia.
Makassar, 07 Maret, 2018
Posting Komentar
0 Komentar