|
Tarian Bumi, novel yang ditulis Oka Rusmini |
Saat para
perempuan
sudra rela melakukan apa saja demi menaikkan kastanya, Ida Ayu Telaga
Pidada justru melakukan hal sebaliknya. Ia membuang gelar Ida Ayu—gelar untuk
perempuan berkasta Brahmana
--demi bisa menikah dengan
Wayan Sasmitha, seorang pelukis yang dicintainya sejak umur 10 tahun. Di griya,
Telaga merelakan kakinya diinjak, orang-orang Brahmana membasuh kaki di atas
kepalanya, sebagai rangkaian upacara melepaskan gelar kehormatannya. Sejak saat
itu, namanya menjadi Luh Telaga, bukan lagi Ida Ayu Telaga.
Lahir sebagai
perempuan dalam masyarakat dengan strata sosial bertingkat-tingkat bukan main
sakitnya. Itulah yang dirasakan para tokoh perempuan yang diciptakan Oka
Rusmini dalam novel Tarian Bumi ini. Mereka hanya bisa bergaul dengan yang
memiliki kasta setara. Wanita Brahmana menikahi pria Sudra adalah aib tak
tertanggungkan. Sebaliknya, jika wanita sudra menikahi pria brahmana, kastanya,
juga kasta anak turunannya akan berubah jadi brahmana. Status sosial anak-anak
ditentukan oleh kasta sang bapak. Perempuan bukan apa-apa selain sekedar
pelengkap hidup.
Hal ini yang
menjadi pertimbangan Ni Luh Sekar, ibu Telaga, sehingga rela melakukan apa saja
agar bisa menikah dengan laki-laki Brahmana. Dengan menikahi laki-laki Brahmana
yang kaya raya, kelak anaknya juga akan lahir sebagai perempuan Brahmana. Kelak
anak-cucunya akan memiliki posisi terhormat di tengah masyarakat.
Ia bahkan tak
perduli meski laki-laki Brahmana yang ia nikahi itu—Ida Bagus Pidada—adalah seorang
laki-laki yang sehari-hari menghabiskan waktu untuk mabuk dan tidur dengan
pelacur. Sekar tak perduli. Sebab yang terpenting adalah status sosial. Ia juga
tak perduli meski ibu mertuanya membencinya setengah mati.
Telaga adalah
potret seorang perempuan pemberontak dalam masyarakat Bali yang digambarkan Oka
Rusmini dalam novelnya ini. Ia memberontak pada sistem strata sosial yang
mengharuskan ia menikah dengan laki-laki yang memiliki kasta setara dengannya. Ia
meninggalkan rumah yang bergelimang harta, menanggalkan perhiasan dari
tubuhnya, pakaiannya yang bagus-bagus, dan memasuki rumah Wayan Sasmita,
membiasakan diri meniup bara api di depan dapur.
Pemberontakan
perempuan yang digambarkan Oka Rusmini dalam novel ini bukan hanya tentang
Telaga. Ada banyak perempuan lain yang akhirnya memilih jalan sendiri, tidak
mengikuti sistem dan norma yang berlaku dalam masyarakat Bali. Luh Kenten,
sahabat ibunyan Telaga, memilih untuk tidak pernah mencintai laki-laki, dan
menyadari justru ia jatuh cinta pada perempuan. Pada sahabatnya, Luh Sekar
(ibunya Telaga).
Ada Luh
Kambreng, seorang penari luar biasa yang berkali-kali mendapat piagam
penghargaan. Tapi ia menyadari bahwa ternyata setumpuk piagam tak membuatnya
banyak uang, ia merobek-robek piagam tersebut untuk menutupi gubuknya yang
bocor. Luh Kambreng menolak cinta seorang pria bule saat menyaksikan bagaimana
sahabatnya mati bunuh diri setelah tubuhnya dieksploitasi oleh suami bulenya
untuk objek lukisan.
Saya rasa,
menulis novel ini adalah cara Oka Rusmini memberontak pada kekuasaan laki-laki
yang selalu mendominasi perempuan dalam semua hal. Tak sedikit pun Oka
menggambarkan laki-laki sebagai makhluk terhormat dalam novel ini. Ia bercerita
bahwa, segala penderitaan perempuan bersumber dari ulah laki-laki. Laki-laki
digambarkan sebagai sosok yang tak punya tanggung jawab terhadap keluarga dan
hanya bisa hura-hura. Mereka senang menggoda perempuan cantik, malas, dan
berpikir bahwa perempuan terbaik untuk dinikahi adalah yang kuat dan pekerja
keras, sehingga para suami bisa berleha-leha di rumah.
Saya tak
begitu paham budaya Bali. Saya tak tahu apakah apa yang digambarkan Oka Rusmini
tentang laki-laki Bali sama persis dengan apa yang ada dalam novel ini. Oka
seolah memandang semua laki-laki sama saja. Ia seolah menulis sambil menahan
amarah terhadap laki-laki, semua laki-laki. Namun bagaimana pun, saya pikir,
tak semua laki-laki punya karakter buruk seperti para laki-laki dalam Tarian
Bumi. Di dunia nyata pun, tak semua laki-laki jahat. Di novel ini, hanya ada
satu laki-laki Ida Bagus Pidada, kakek Telaga. Tapi kebijaksanaan itu toh
ternodai juga dengan ulahnya meniduri menantunya sendiri (meski hanya
desas-desus dan tidak dijelaskan lebih jauh apakah benar atau tidak).
Oka Rusmini punya
kesempatan lain untuk menjelaskan bahwa di antara sekian banyak laki-laki
jahat, ada juga laki-laki yang baik dan menghargai perempuan. Dia adalah Wayan
Sasmitha, yang berani menerobos segala norma budaya demi cintanya pada Telaga. Tapi
Oka Rusmini bahkan tak menjelaskan lebih jauh tentang karakter Wayan. Ia hanya menggambarkan
tokoh Wayah sebagai seorang pelukis berbakat yang mati muda setelah menikahi
Telaga. Alangkah sayangnya.
Di sisi lain,
Oka menggambarkan perempuan-perempuan Bali sebagai sosok yang pemberani, kuat,
dan pekerja keras. Ada Ibu Sekar misalnya, yang gigih berjuang seorang diri demi
anak-anaknya. Ia bahkan dengan tulus membesarkan dua anak kembar yang lahir
dari hasil pemorkosaan terhadap dirinya.
Ada Luh
Sekar, yang dengan gigih berjuang demi bisa menjadi penari. Meski pada saat
itu, ia diremehkan karena statusnya sebagai perempuan Sudra. Ada Luh Kambreng
yang meski dikenal sebagai penari berbakat, tak mau menggunakan kemampuannya
untuk mencari uang.
Tapi di
antara perempuan-perempuan pemberani itu, ada sosok perempuan berani lain yang
digambarkan secara setengah-setengah. Dia Luh Kenten, sahabat Luh Sekar. Kenten
menolak jatuh cinta pada laki-laki. Ia malah jatuh cinta pada Sekar, namun
takut menyampaikan cintanya, dan takut pada pandangan masyarakat umum tentang
orientasi seksualnya.
Tarian Bumi
adalah sebuah novel dengan tema yang menarik. Tapi bagi saya, novel ini belum
tuntas. Banyak hal yang masih perlu dijelaskan.
Apa yang
terjadi setelah Sadri (saudara ipar Telaga) meminta bagian tanah warisan pada
ibunya? Apakah ia berhasil membawa Putu Sarma datang kepada ibunya?
Apa yang
terjadi setelah Putus Sarma menggoda Telaga dan ternyata Telaga menyukai godaan
itu? Apakah ia akhirnya akan benar-benar tergoda atau tetap setia pada suaminya
yang telah mati?
Apa yang
terjadi setelah Telaga melepaskan statusnya sebagai perempuan Brahmana?
Tusuk konde
itu... dari mana dan untuk apa nenek Telaga mewariskannya?
Jika saja Oka
Rusmini menuliskan novel ini dengan cara yang lebih terperinci dan mengalir,
dengan perbincangan yang tidak kaku dan lebih hidup, Tarian Bumi akan jadi
sebuah novel yang sangat indah.
Posting Komentar
0 Komentar