Seni dan Kenakalan Remaja

Ilustrasi
Makassar, yang sedang gencar mempromosikan diri sebagai Kota Dunia, sedang menghadapi sebuah persoalan besar yang sepele. Entah bagaimana awalnya, warga kota dilanda ketakutan dan rasa marah secara bersamaan. Di sudut-sudut kota, para penjahat berkeliaran mengintai orang-orang lengah yang membawa barang-barang berharga. Laptop, ponsel, dompet, atau apapun yang bisa mereka rampas.
Mereka tentu tak lebih memilih barang-barang berharga ketimbang seutas nyawa yang tak bisa ditukar dengan rupiah. Sebab jika mereka bergeming, segala macam senjata—anak panah, ketapel, hingga parang—sudah siap mengarah ke mereka. Pertahankanlah barang berhargamu, niscaya nyamamu yang cuma satu itu akan melayang seketika.
Sudah terlalu lama, sudah ratusan korban melayang, yang luka parah maupun yang mati, namun kejahatan ini tak terhenti. Sudah puluhan dari para penjahat itu yang tertangkap dan menjadi bulan-bulanan warga, bahkan ada yang meregang nyawa karena ditembak petugas keamanan. Tapi keesokan harinya, kita selalu mendengar kabar bahwa di sudut kota lain, aksi serupa masih terjadi.
Beberapa hari lalu, saya dan beberapa rekan berbincang soal aktifitas anak-anak muda di salah satu komplek perumahan. yang terbilang jauh dari ciri gemerlap kemewahan. Anak-anak di komplek tersebut, entah dari mana datangnya tiba-tiba saja muncul dan membuat onar. Sepanjang hari mereka mengisap lem. Pada saat lapar mereka memalaki anak-anak perempuan yang lewat. Pada malam hari, mereka turun ke jalanan mengendarai motor yang meraung-raung. Seorang teman saya menduga, barangkali anak-anak seperti inilah yang sering turun ke jalanan dan menjadi apa yang akrab kita sebut begal.
Kalaupun bukan kelompok mereka, tak ada salahnya menduga bahwa dari kondisi inilah para begal berasal. Siapapun dan dari mana pun mereka, satu hal yang pasti, mereka adalah anak-anak muda yang tak tahu harus berbuat apa. Mereka tidak sekolah dan tak punya aktifitas. Mereka, barangkali tak punya orang tua yang memperhatikan segala kebutuhan dan kelakukan mereka. Bagaimana pun, rumah adalah awal dari segalanya. Jika rumah dan keluarga tak membuat mereka nyaman, maka anak-anak akan mencari kebahagiaan di luar, bersama anak-anak tak bahagia lainnya. Kebahagiaan yang konsepnya tentu agak berbeda dengan apa yang dipahami orang dewasa yang sudah mandiri dan punya banyak pilihan tentang hidup. Ketika anak-anak yang sama-sama tak bahagia saling berkumpul, maka membuat onar bukan lagi hal yang menakutkan, melainkan hal mengasyikkan.
Mengapa saya mengatakan hal ini adalah persoalan sepele? Sebab ini hanyalah tentang anak-anak yang tak tahu harus berbuat apa (meskipun ada juga pelaku dewasa). Yang ingin sekolah tapi tak punya uang beli seragam dan bayar SPP. Yang ingin punya gadget karena tergoda iklan di tivi tapi untuk makan saja susah. Hal yang harus dipikirkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah memberi perhatian kepada anak-anak muda dan memberikan mereka kesibukan yang bermanfaat. Salah satu cara yang humanis adalah mengenalkan seni dan budaya kepada anak-anak dan remaja. Perkenalkan mereka betapa seni adalah sebuah kreatifitas yang menyenangkan untuk dinikmati, yang dengan keindahannya mampu memberi kedamaian dan menyentuh hati manusia sedalam-dalamnya, membuat manusia sadar bahwa hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan melakukan sesuatu yang tak membuat nama kita diingat ketika sudah mati.
Sanggar Seni Pemuda Paropo
Di Paropo, salah satu sudut kota yang jadi tempat favorit saya, sudah sejak puluhan tahun silam anak-anak sibuk dengan sanggar kesenian mereka. Jika berkunjung, jangan kaget jika Anda menemukan anak-anak muda dan remaja bertampang garang, berbicara dengan suara besar dan menggelegar, tapi sesungguhnya mereka adalah penari, pemain suling, penyanyi, atau penyair. Para orang tua tidak pernah khawatir anak-anak remaja mereka akan terlibat tawuran atau membuat onar entah di mana. Mereka terlalu sibuk latihan untuk pertunjukan seni.
Jika saja ada aparat pemerintah kota yang ingin serius membenahi permasalahan begal di Makassar yang notabene pelakunya adalah anak-anak remaja, tak usahlah studi banding ke luar kota atau luar negeri (Biasanya jalan keluar sebuah masalah dicari dengan studi banding kan?). Datanglah ke Paropo, sebuah perkampungan yang pada abad ke-16 menjadi wilayah Gowa tapi kini berada di area Jalan Abdullah Daeng Sirua.
Kecuali aparat menganggap permasalah ini bukan hal yang dampaknya lama, cukup tangkap mereka—jika bisa—dan tembaki jika melarikan diri. Tapi jika menganggap ini permasalahan serius, beranguslah hingga ke akar-akarnya. Menangkap, menembak, dan memenjarakan hanya menyelesaikan masalah sementara waktu. Yang harus ditemukan adalah akar permasalahannya. Tentu saja ini pekerjaan maha berat. Tapi menjadi pengayom negeri memang tak ringan. Sebab yang mesti dipikirkan bukan hanya masalah diri sendiri, anak, dan istri, melainkan masalah jutaan orang lainnya. Jika tak kuasa memberi rasa aman, jangan berani mencoba menjadi bagian dari aparat pemerintahan sebuah negeri.
Kita semua tidak bisa terus diam menyaksikan warga kota ketakutan, anak-anak bergerombol menodongkan senjata kepada setiap orang yang lewat dan merampok mini market. Lalu yang akan peduli, mencari dan menghancurkan akar permasalahan ini? Sementara kota ini sedang sibuk bersolek dan mempercantik diri. Kota ini sedang repot dengan urusan investasi, pembangunan gedung tinggi, dan reklamasi sebagai ciri kota dunia, sementara warganya ketakutan sebab nyaris tak ada lagi sudut kota yang mampu menawarkan rasa aman dan nyaman.


Makassar, September 2015

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar edisi Jumat 2 Oktober 2015  

Posting Komentar

0 Komentar