Menikmati Masa Hibernasi: Membaca, Blogging, dan Minum Kopi


Ada kalanya manusia waras tiba-tiba merasa jenuh dan gila dan tak ingin berbuat apa-apa. Seperti itulah yang saya rasakan saat ini. Ada saat-saat di mana tiba-tiba tinggal di kamar adalah hal yang paling menyenangkan. Dan rasa jenuh seperti ini datang di waktu-waktu tertentu. Tak ada obatnya. Seperti beberapa waktu silam ketika saya merasa bahwa orang-orang di lingkungan pekerjaan saya memperlakukan saya dengan tidak adil. Rasa muak dan marah membuat saya jenuh. Dan rasa jenuh itu membuat saya tidak ingin kembali. Tidak lagi menerima uang bulanan? Peduli amat. Jalan datangnya uang bisa dari mana saja. Saya bukan tipe orang yang bisa bertahan dalam ketidaknyamanan demi uang tak seberapa, yang bahkan nyaris tak cukup untuk hidup selama 30 hari.
Beberapa minggu belakangan, saya tiba-tiba tidak ingin keluar rumah. Tapi bukan berarti saya tidak melakukan apa-apa. Sepanjang hari saya membaca buku persiapan TOEFL dan IELTS berganti-ganti. Sebab saya berencana ikut tes akhir tahun ini untuk persiapan kuliah S2 tahun depan. Dan karena saya tidak ingin gagal memperoleh nilai yang saya impikan, saya mengabaikan seluruh tawaran pekerjaan.
Jika bosan, maka saya akan duduk di depan laptop, menulis sesuatu. Namun ada saat-saat tertentu ide tulisan di dalam kepala saya berseliweran terlalu banyak dengan segala macam tema. Akibatnya, kadang saya membuat empat judul tulisan berbeda. Esai. Semuanya hanya jadi setengah. Tak ada yang jadi satu.
Saya memang sedang bersemangat menulis esai. Minggu lalu, sebuah esai saya dimuat di Harian Fajar. Sang pengasuh rubrik, entah sengaja atau khilaf, menaruh nomor telepon di bawah nama saya, disertai embel-embel: jika ada kritik dan saran, maka.... Akibatnya, selama berhari-hari saya mendapat sms dari orang-orang yang tak saya kenal. Bahkan ada yang menelpon. Semuanya mengaku terharu dan memberi komentar positif. Tapi saya berpikir, ini bukan hal yang membanggakan. Hanya secara kebetulan tema esai saya menyangkut persoalan orang banyak. Saya sadar, suatu saat kelak, jika saya menulis tentang sesuatu yang menyindir pihak tertentu, maka yang akan saya terima bukan pujian melainkan cacian.
Jika saya sama sekali kehabisan ide, maka saya akan mengutak-atik blog, menulis beberapa konten yang sama sekali tidak penting. Jika sudah asyik, saya bahkan nyaris lupa makan. Saya baru akan beranjak ke dapur jika perut saya benar-benar perih menahan lapar.
Dan seperti juga hari ini. sepanjang hari, dari pagi hingga malam saya hanya tinggal di dalam kamar. Membaca buku, blogging, dan minum kopi.
Jika ingin melihat cahaya matahari dan merasakan udara yang sejuk, saya mengunjungi supermarket terdekat. Akhir-akhir ini cuaca Makassar memang sangat panas menyengat. Dan panas itu tidak hanya terasa di permukaan kulit. Suasana hati juga ikut kusut akibat kegerahan. Tinggal di kota ini semakin tidak nyaman. Saya berdiri di depan rak pajangan barang yang saya sama sekali tidak berniat membelinya. Saya hanya mengulur-ulur waktu. Berjam-jama kemudian, saya pulang membawa beberapa bungkus snack.
Rasa bosannya belum hilang. Barangkali saya perlu mengusir rasa bosan ke tempat yang lebih jauh. Ke Jogja, atau ke Bali. Sendiri saja. Sendiri lebih menyenangkan. Tidak ada teman yang cerewet. Tidak ada yang memintamu melakukan hal yang mereka inginkan namun tak kau inginkan. Dua tahun lalu, saat rasa jenuh menyergap saya ketika sedang di Jakarta, saya membeli selembar tiket keret api, berangkat dari Stasiun Senen ke Jogja. Sendiri. Saya tinggal selama 4 hari di sebuah hotel murah di kawasan Malioboro. Berkeliling naik becak, makan kerang rebus, menonton pertunjukan tari di keraton. Barangkali saya harus melakukannya lagi saat ini. Tapi di tempat yang berbeda. Bukan Jogja lagi.  
Saya mulai memikirkan satu hal tentang diri saya. Saya adalah tipe orang yang cepat bosan. Saya tidak betah melakukan sesuatu dalam waktu lama. Dan jika rasa bosan itu menyergap, tak ada apa pun yang bisa menghibur saya untuk kembali melakukannya, kecuali melakukan sesuatu yang memang menjadi keinginan saya sendiri. Saya tiba-tiba terpikir, bahwa memang sudah seharusnya saya menulis. Menulis novel, seperti cita-cita saya sejak kecil yang tiba-tiba menguap begitu saja saat saya mulai menjadi wartawan. Ya, menjadi wartawan melenyapkan kemampuan saya menulis fiksi. Semasa kuliah, sesekali saya mengirim puisi dan cerpen ke sebuah media lokal. Tapi setelah menjadi wartawan, kemampuan itu hilang sama sekali. Tapi saya malah lancar menulis esai dan reportase. Tentu saja ini hanya alasan pembenaran.
Ya, sepertinya hanya satu hal itulah yang bisa mengobati rasa jenuh saya dan membuat saya kembali waras. Menulis. Tak peduli ada yang membacanya atau tidak. Jika ada yang membaca dan merasa terhibur syukur, jika pun tidak, toh setidaknya bisa menjadi obat. Ya, menulis untuk pengobatan. Ibaratnya, menurunkan hujan untuk memekarkan bunga-bunga di musim kemarau.


Posting Komentar

0 Komentar