Suka Duka jadi Freelancer

ilustrasi. Sumber: enkivillage
Pagi ini, saya berbicara dengan teman saya yang menetap di Depok. Sebuah percakapan sederhana berlangsung lewat telepon. “Baru sekarang saya sadar, saya menetap di Depok sejak 2012. Dan sekarang sudah 2015. Saya tidak percaya bisa melalui 3 tahun di sini. Tan tanpa bekerja kantoran, hanya menjadi freelancer,” ungkapnya terkekeh.
Saya menanggapi dengan tertawa. Saya bilang, jika kita selalu optimis dan bersikap positif, tak ada yang tak bisa dilalui. Termasuk melalui hari-hari dengan rekening bank yang nyaris kosong dan sisa uang seadanya di dompet. Teman saya melanjutkan ceritanya. Memang ia sudah memutuskan untuk menjadi freelancer. Ia memiliki beberapa orang teman di Jakarta yang akhirnya memutuskan bekerja freelance, meski sebelumnya memiliki pekerjaan bagus dengan gaji bulanan tinggi di sebuah perusaahaan bergengsi.
Di Jakarta kata dia, terlalu banyak hal yang membuat stres bagi para pekerja kantoran: bangun subuh-subuh agar tidak terlambat tiba di kantor, berdempet-dempetan di dalam kendaraan umum, atau jika membawa kendaraan sendiri, harus berjuang melewati macet. Begitu tiba di kantor, perjalanan yang kita  lalui sudah cukup membuat mood menjadi jelek dan semangat kerja berkurang. Apalagi jika memikirkan bahwa jika pulang sore nanti, jalanan yang kita lalui pagi tadi akan kembali menanti. Lantas begitu tiba di rumah, malam sudah larut dan tubuh sudah kelelahan. Esok, rutinitas sama menunggu.
Begitu masa gajian tiba, sebagian pekerja berpikir bagaimana memberi penghargaan kepada diri dan tubuhnya setelah sebulan penuh bekerja keras. Lalu dengan maksud memberi penghargaan kepada diri sendiri, mereka melakukan hal-hal semacam: berbelanja di mall, makan di restoran, spa di salon kecantikan, berlibur ke luar kota, dan lain-lain. Sebab di kota besar macam Jakarta yang sesaknya minta ampun, sepertinya hal-hal seperti ini yang paling memungkinkan dilakukan untuk menghibur diri. Lalu tanpa sadar gaji bulanan habis (kecuali yang bergaji di atas rata-rata), dan yang bisa dilakukan hanya bersabar menunggu tanggal gajian bulan depan. Tapi memang beginilah kehidupan seorang pekerja.
“Menjadi freelancer membuat hidup saya lebih bahagia. Setidaknya jika saya membandingkan dengan kehidupan sebelumnya saat saya masih bekerja kantoran,” ucap teman saya.
Saya mengiyakan, membenarkan ucapannya. Saya sendiri sudah memutuskan berhenti bekerja di sebuah kantor sejak beberapa bulan lalu. Sebelumnya saya pernah beberapa kali berpindah kerjaan. Saya pernah merasakan betapa menjemukan harus tinggal di kantor sejak pagi hingga sore entah melakukan apa dengan gaji seadanya. Lalu saya memutuskan cocok dengan sebuah pekerjaan yang tak menguras habis seluruh waktu dan pikiran; menjalankan sebuah program pendampingan. Setelah program tersebut selesai, saya memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan lagi. Saya menikmati waktu dengan bekerja di rumah.
Meski tidak bekerja kantoran, saya tidak menghabiskan waktu seenaknya tanpa berbuat apa-apa. Saya tetap membagi waktu. Pagi-pagi ketika bangun, hal pertama yang saya lakukan adalah memberi makan ikan-ikan kecil saya di akuarium. Saya punya akuarium kecil bundar dengan 9 ekor ikan kecil di dalamnya.
Lalu, rutinitas saya selanjutnya adalah membuat sarapan di dapur, mandi, membersihkan rumah, membaca buku sambil menunggu tukang sayur untuk memasak makan siang, membuat kopi, membuka laptop dan memutar musik jazz, lantas menulis esai untuk beberapa media lokal yang sepertinya tak berniat membayar tulisan saya (dan tentu saja saya gengsi menagihnya).
Belakangan teman saya itu memberi saran, seorang penulis freelance seperti kami jangan menulis untuk media lokal yang tak mau membayar tulisan penulisnya. Bukan bermaksud matre, tapi memberi tulisan gratis sama saja dengan menyumbang untuk sebuah korporasi besar. Bukankah lebih baik kita menyumbang anak jalanan yang tak punya uang untuk makan dan sekolah? Saya pikir betul juga. Begitulah, percakapan saya dengan teman saya itu, kadang konyol tapi sangat masuk akal. Lalu saya pun memutuskan mengikuti kata-katanya. Ia bilang, jika menulis dengan tujuan menyampaikan gagasan, agar tulisan kita dibaca orang, mending menulis di Kompasiana, media yang tanpa tedeng aling-aling, tidak menentukan jumlah karakter tulisan dan tentu saja juga tidak memberi bayaran.
Salah satu hal menyenangkan dan membuat saya betah di rumah sekarang adalah tumpukan buku-buku. Sejak sebulan lalu, saya dan beberapa teman mengelola sebuah rumah baca yang juga melayani penyewaan buku-buku. Buku-buku kami, yang merupakan hasil mengumpulkan koleksi pribadi masing-masing kini berjumlah hampir seribu. Bukan bisnis yang mampu menghidupi keluarga sebanyak tujuh turunan, tapi setidaknya bisa menghibur. Saya bisa menulis sambil mendengarkan celoteh anak-anak yang datang ke rumah baca kami.
“Kak, ada komik Naruto?”
“Kalau One Piece ada?”
“Kak, jangan lupa beli buku dongeng.”
“Kak, mamaku tanya, ada buku resep masakan?”
Pertanyaan terakhir saya jawab dengan menyodorkan dua buah buku. Sebuah buku resep masakan khas Bangka Belitung dan sebuah buku berjudul “Awet Muda Tetap Cantik & Sehat Alami”. Saya rasa, buku terakhir itu sangat cocok untuk seorang ibu rumah tangga yang kadang karena terlalu sibuk mengurus dapur dan anak-anak sehingga lupa mengurus diri.
Kadangkala sebuah pekerjaan musiman cukup untuk biaya hidup beberapa bulan. Bukan berarti saya lebih suka kehidupan yang santai. Dan jangan berpikir bahwa saya tidak matre. Di dalam otak saya sedang berkelindan banyak pikiran dan rencana-rencana besar yang menunggu diwujudkan. Seperti percakapan-percakapan konyol lainnya, di sesi lain, dengan teman lainnya saat kami bertemu di warung kopi.
“Kita butuh modal besar, ya?”
“Iya. Minggu lalu kamu bilang bapakmu punya tanah luas yang sertifikatnya bisa dipinjam dan dititipkan ke bank.”
“Enak saja! Saya tidak mau. Kamu kan punya SK PNS. Pakai itu saja.”
“Tidak mau. Kira-kira butuh berapa motor untuk digadaikan?”
Ya, begitulah kehidupan seorang freelancer seperti saya. Tak menerima gaji bulanan, tapi cukup bahagia. Kami merasa bisa lebih kreatif karena punya banyak waktu untuk mewujudkan gagasan. Dan tidak perlu merasa terbebani oleh pekerjaan kantor yang belum selesai.


Makassar, 11 April 2015

Posting Komentar

0 Komentar