Berkunjung ke Negeri Tepi Awan


Anak-anak sekolah di Pipikoro
Perempuan itu meloncat dan sigap merengkuh pinggang saya ketika saya nyaris jatuh terjerembab ke tanah berlumpur. Hujan semalam membuat jalanan sangat licin hingga kaki saya terpeleset.

Namanya Ibu Elsye, umurnya sudah melebihi 50 tahun. Ia seorang dukun beranak di desa itu, Desa Lawe. Ketika saya tiba di sana siang itu, ia dan sejumlah warga sedang bekerja memperbaiki jalan desa yang lebarnya cuma 1 meter. Mereka mengaduk campuran pasir, semen, dan batu kerikil lantas meratakannya di permukaan jalan.

Sambil mengantar saya berkeliling dan berbincang dengan warga, Ibu Elsye menceritakan pengalamannya sebagai dukun beranak. Dalam 2 bulan terakhir, sudah 7 orang ibu melahirkan yang ia tolong. “Puji Tuhan, ibu dan bayi semuanya selamat,” ucapnya riang.

Sudah puluhan tahun warga Desa Lawe, bahkan desa tetangga menggantungkan keselamatan ibu dan bayi mereka di tangan Ibu Elsye. Jangan tanya dokter kandungan di desa itu. Lawe belum pernah sekali pun kedatangan dokter. Jangan pula menanyakan imbalan yang diterima Ibu Elsye. Jika beruntung, ia bisa mendapat Rp 15 ribu untuk seorang bayi yang ditolongnya terlahir ke dunia. Jika tidak, ia sudah cukup senang dengan ucapan terima kasih. 

Desa Lawe adalah satu dari 3 desa di atas puncak pegunungan Pipikoro, Sulawesi Tengah. Desa ini dihuni oleh 293 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa sebanyak 579. Sebagian besar warga masih buta huruf. Desa lainnya adalah Lonebasa dan Porolea. Saya mengunjungi Lawe hari itu setelah sebelumnya telah mengunjungi Lonebasa. Desa terakhir yang akan saya kunjungi nanti adalah Porolea.

Ketiga desa tersebut mendapat bantuan program PNPM Peduli untuk pemenuhan Hak-hak Dasar (HHD) masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan dan wirausaha sejak tahun 2011. Di Sulawesi, program PNPM Peduli didampingi oleh Sulawesi Community Foundation (SCF) yang berkantor di Makassar. Saya berada di sana untuk melihat jalannya program tersebut.

Saya menyebut Pipikoro sebagai negeri di tepi awan. Di atas puncak ketinggian ketiga desa tersebut, awan seolah hanya sejengkal di atas kepala. Pemandangan langit biru cerah dan gumpalan awan putih tipis yang berarak sangat kontras dengan rimbun hutan yang hijau asri. Sangat menyejukkan mata. Sungguh suatu keindahan yang tak terpermanai.

Tapi jangan tanya harga yang harus engkau bayar untuk bisa menikmati keindahan negeri tepi awan ini. Selain harus merogoh kocek hingga Rp 600 ribu ongkos ojek, engkau juga harus berani bertaruh nyawa, jika seandainya tukang ojek sedikit lalai hingga ban motor terpeleset di jalan setapak berbatu dan tubuhmu terlempar ke jurang terjal di sisi jalan.

Tak ada akses kendaraan ke atas puncak Pipikoro. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan keberanian menanjaki pegunungan dan menuruni lereng terjal dengan sepeda motor, di atas jalan setapak yang lebarnya hanya dua jengkal dengan jurang menganga di sisinya. Ban dan gir sepeda motor didesain khusus untuk menanjaki pegunungan. Dengan sepeda motor, Pipikoro bisa ditempuh selama 3 jam perjalanan dari ibu kota kecamatan. Pipikoro dihuni oleh suku Uma. Seluruh masyarakatnya bekerja sebagai petani. Mereka menanam kopi, kakao, dan jagung.

Di Lawe, saya juga berbincang dengan Pak  Octavianus, seorang guru sekolah dasar. Pak Octavianus juga mengajar baca tulis untuk warga buta aksara. “Tapi ah, mengumpulkan warga untuk belajar membaca susahnya minta ampun. Mereka memilih bekerja di kebun ketimbang datang belajar ke sanggar,” ucapnya sambil menyuguhi saya kopi hitam pekat.

Desa Lawe telah memiliki sanggar pendidikan atas bantuan dari PNPM Peduli. Di desa ini, dan juga di dua desa lainnya, sekolah yang tersedia hanya hingga SD. SMP terdekat ada di kota kecamatan. Akibatnya, banyak anak putus sekolah atau menikah dini selepas SD.

Tapi Pak Octavianus tak putus asa. Ia mengalah demi melihat warga di desanya bisa melek huruf. Ia mengumpulkan warga yang kebunnya berdekatan dan membuat kelompok belajar di sana. Warga senang, karena mereka bisa belajar tanpa harus meninggalkan pekerjaan di ladang.

Selepas berbincang dengan Pak Octavianus, saya beranjak ke desa terakhir, Porolea. Gerimis menyambut ketika tukang ojek mengerem sepeda motor di halaman rumah kepala desa. Namanya Pak Abednego Dedi. Ia menyambut kami dengan ramah.

Malam itu Pak Abednego tak bisa mengajak saya berbincang. Ia ada janji dengan warganya untuk rapat. Mereka berkumpul di ruang tamu. Ia berjanji akan mengumpulkan beberapa orang warganya untuk saya wawancarai besok pagi sebelum saya kembali ke Palu.

Di dalam kamar, saya tak bisa memejamkan mata meski kelelahan. Saya tak bisa berhenti memikirkan Pipikoro. Betapa di tengah kemajuan zaman, ketiga desa ini masih sangat tertinggal jauh. Warga sama sekali belum mendapat hak-hak dasar mereka yang semestinya dipenuhi pemerintah, kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Esok paginya, selepas mewawancarai sejumlah kader dampingan dan mengumpulkan data-data, istri Pak Abed menyuguhi kami kopi hitam. Tanaman kopi memang sumber penghasilan utama masyarakat Pipikoro. Di setiap rumah yang kami singgahi, kami selalu disuguhi kopi. Saya teringat kopi yang saya minum pagi itu di rumah Pak Abed adalah cangkir yang ketujuh sejak kedatangan saya kemarin.

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 4 April 2014


Posting Komentar

0 Komentar