17 Agustus dan Orang-orang yang Kehilangan Tanah

Ilustrasi: Koran Tempo Makassar


17 Agustus tinggal hitungan jam. Sebentar lagi negeri ini akan gegap gempita oleh kegembiraan, mengenang ketika pertama kalinya pendiri bangsa ini mengucapkan kata “merdeka” 69 tahun silam. Tapi bagi saya, ada sesuatu yang mengusik setiap 17 Agustus tiba. Benarkah bangsa ini sudah merdeka?
Tidak, saya tidak percaya bahwa bangsa ini telah merdeka. Sebab di banyak tempat, saya menyaksikan begitu banyak rakyat kehilangan tanahnya dan tak kuasa merebutnya kembali. Saya menyaksikan para orang tua kebingungan mencari lahan untuk bertanam jagung agar anak-anaknya tetap bisa makan. Saya menyaksikan anak-anak yang tak punya uang untuk membeli gelar sarjana, yang lantas beringsut ke kota untuk mencari sesuap nasi di rumah mewah orang-orang yang mereka panggil Majikan.

Orang-orang yang kehilangan tanah itu, sesungguhnya tidak sebatang kara sejak lahir. Pada mulanya, mereka punya lahan yang luas bak tanpa ujung. Mereka menjaga alam, bercocok tanam dan beternak dengan sukacita. Lalu sekelompok orang datang mengklaim bahwa tanah rakyat jelata itu adalah milik Negara. Mereka diusir, lalu dalam sekejap, tanah-tanah itu diserahkan pada perusahaan dan industri dalam bentuk konsesi. Setelahnya, tanah itu bisa berubah menjadi kebun sawit, sumur minyak, atau tempat mengeruk emas. Sementara orang-orang yang terusir itu, tinggal menggigit jari dan tak mendapat apa-apa.    
Jika merujuk pada sejarah, sebenarnya penguasaan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah atas wilayah kelola masyarakat pribumi, telah berlangsung sejak masa kolonial. Dalam dokumen resmi Pemerintah Kolonial Belanda dulu, tanah pribumi disebut sebagai tanah liar atau tanah kosong yang lantas akan dikuasai oleh Pemerintah.
Beruntung, tak semua orang Belanda berpihak pada kekejaman penjajahan. Adalah Cornelis Van Vollenhoven yang dengan gigih berjuang agar eksistensi dan hak-hak pribumi atas kepemilikan tanah diakui. Vollenhoven adalah profesor ilmu hukum dan politik di Universitas Leiden Belanda, dengan predikat judicium cum laude. Ia lahir pada 1874 dan meninggal pada 1933. Pada tahun 1919, ia menulis sebuah buku berjudul De IndonesiĆ«r en Zijn Grond, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Orang Indonesia dan Tanahnya”.
Buku tersebut ditulis Vollenhoven untuk menanggapi rencana amandemen pasal 62 Konstitusi Hindia Belanda (Regeringsreglement) tahun 1854. Dalam amandemen yang bergulir pada 1917-1919 tersebut, hak-hak agraria masyarakat pribumi akan dihapuskan. Rancangan amandemen itu diajukan oleh GJ Nolst Trenite, penasihat Hukum Agraria di Kementerian Dalam Negeri Belanda. Dalam bukunya, Vollenhoven mengungkapkan ketidakadilan Pemerintah Belanda karena melakukan pembatasan hak masyarakat pribumi atas tanahnya. Vollenhoven berkata bahwa, menafikan kepemilikan pribumi atas tanah adalah bentuk kekejaman. Bagi Vollenhoven, apa yang disebut tanah liar oleh Pemerintah Kolonial adalah tanah ulayat, yang merupakan hak tertinggi atas kepemilikan tanah di Nusantara. Setelah perjuangan Vollenhoven itu, kita mengenal istilah “masyarakat adat” untuk masyarakat pribumi yang identitasnya dapat ditelusuri dari jejak dan asal-usul leluhur mereka.
 Kini, setelah 69 tahun lamanya Belanda meninggalkan Indonesia, rasanya sulit dipercaya tindakan perampasan tanah pribumi masih terjadi dan pelakunya justru negara. Kita tahu bagaimana Suku Anak Dalam di Jambi—yang bergantung pada hasil hutan dan hasil buruan untuk bertahan hidup—pontang-panting karena hutan tempat mereka hidup diambil sedikit demi sedikit oleh negara. Lalu di tempat yang lebih dekat dari kita saat ini, saya ingin memperkenalkan pembaca sekalian kepada Komunitas Masyarakat Adat Matteko di wilayah pegunungan Kabupaten Gowa, yang sejak berpuluh tahun lalu lahan kelola mereka diambil Negara dan disulap menjadi Hutan Pinus. Lalu setelahnya, ketika lahan-lahan itu mulai dikuasai Negara dan Perusahaan, masyarakat pribumi akan dilarang masuk dan diancam dengan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
Dua kasus tersebut hanya sebagai contoh yang gampang diingat. Ada ribuan kasus lain. Pada tahun 2011, Aliansi masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat jumlah anggota komunitas masyarakat adat sebanyak 1163 komunitas.  AMAN merupakan sebuah organisasi masyarakat independen yang dibentuk oleh sejumlah perwakilan komunitas dan pemerhati masyarakat adat. Komunitas ini dibentuk lewat sebuah kongres pada 1999 dengan tagline: “Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara.”
Kerana itu, bagi saya, 17 Agustus adalah sekedar merayakan kepulangan Belanda, bukan untuk merayakan kemerdekaan. Sebab barangkali, seburuk-buruknya penjajahan, setidaknya pelakunya adalah negara asing, bukan negara sendiri.

*Tulisan ini dimuat di Rubrik Literasi Koran Tempo Makassar edisi 16 Agustus


Posting Komentar

0 Komentar