Di jiwanya
bersemayam rindu. Pada anak-anak yang tumbuh dewasa dengan begitu cepat. Yang mulai
mandiri untuk mencari penghidupan hingga lupa untuk pulang. Ah, mereka telah
mampu menanggung kesakitannya sendiri hingga lupa pada masa kanak-kanak yang
penuh derai tawa dan suka cita sang ibunda.
Matanya
begitu ibu. Di sana seberkas cahaya berpendar-pendar begitu elok. Itu cahaya
cinta. Cinta yang begitu ibu. Tidak hanya di matanya, juga pada keriput
kulitnya, pada mesra tawanya, pada lembat tutur katanya yang begitu ibu.
Kami bercerita
tentang kelahiran dan kematian pada senja yang begitu sendu. Kelahiran yang
mewarnai perjalanannya, tentang jiwa-jiwa mungil yang bergelayut manja di
lengannya, dan tidur dalam damai di peluknya.
Juga tentang kematian
pernah datang menghempasnya. Sebuah kematian
merampas jiwa yang begitu dicintainya, yang sepenuh hati dipertahankannya. Ia marah
ketika sebuah suara membisikkan doa di telinganya: Tuhanku, jika kau
menginginkan suamiku, kumohon segerakanlah, jangan biarkan ia terlalu lama
dalam kesakitannya.
Ia bertahan
karena cinta. Demi anak-anak yang segera tumbuh dengan cepat. Kerinduan tetap
menyertai perjalanannya. Langkah-langkahnya
menjadi ragu. Pada setiap yang ditemuinya di jalan, ia bercerita betapa manis
anak-anaknya. Ah, anak memang selalu lucu untuk seorang perempuan yang pernah
merasakan perihnya mengerang sakit demi mengeluarkan anak-anak dari
selangkangan. Anak-anak yang tak akan pernah menjadi dewasa bagi ibunya. Selamanya
akan menjadi anak-anak, bahkan hingga mereka memiliki anak-anaknya sendiri.
Di dadanya, dalam hangat peluknya, aku berbohong sambil
memejamkan mata. Aku punya ibu yang bahagia, yang selalu merindukan anaknya
untuk pulang. Seperti dirinya. Tapi aku tak pernah rindu untuk pulang, seperti
juga anak-anaknya.
Lalu kami
tertawa-tawa, dalam senja yang begitu sendu. “Ah, anak-anak. Ah, begitu lucunya
dirimu. Sama seperti anak-anakku juga.” Tiba-tiba, aku merasa ingin selamanya
tenggelam dalam pelukannya.
Makassar, 9 Desember
Posting Komentar
0 Komentar