Menari bersama Api

Peppe-peppeka ri Makkah
Lenteraya ri Madinah
Tarumbasai
Natakabbere Dunia
(Cahaya di Mekah
Lentera di Madinah
Bersinarlah
Dan dunia pun bertakbir)
Bait-bait lagu itu mengalun sementara 5 pria duduk berjejer. Kepala tertunduk, mata terpejam dan mulut berkomat-kamit merapal doa. Salah seorang memegang 5 buah sumbu berukuran sekitar 20 centimeter. Sumbu tersebut terbuat dari kain dan ujungnya telah dilumuri minyak.
Usai berdoa, ketua kelompok membakar sumbu-sumbu tersebut dengan sebuah korek api. Api menyala berkobar-kobar pada setiap ujung sumbu. Minyak membuat api dengan mudah menjilati sumbu-sumbu kain tersebut. Saat semua sumbu telah menyala, mereka serentak berdiri.
Kelima lelaki tersebut mulai melakukan atraksi tarian. Mereka membuat gerakan-gerakan memutar. Badan bergoyang-goyang dan kaki-kaki mereka membuat hentakan-hentakan seirama di lantai. Di belakang penari,  duduk berjejer para pemusik. Mereka memukul gendang dan menggesek biola dengan penuh semangat mengiringi penari-penari itu. Lagu yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT mereka lantunkan dengan suara merdu.
Para penari terus melakukan gerakan memutar sambil bergoyang-goyang mengikuti irama musik. Hentakan kaki mereka seirama dengan pukulan gendang. Sambil menari, mereka mengusapkan api ke tubuh masing-masjing. Ke kulit, kepala, dan kain sarung yang mereka kenakan. Mulut mereka terus berkomat-kamit mengucap doa. Salah seorang penari memasukkan kobaran api ke dalam topi yang dikenakannya, lalu kemudian memasang kembali topi tersebut di kepalanya.
Ajaib. Mereka sama sekali tak terbakar. Bahkan seolah tak merasakan panas sama sekali. Bahkan kain-kain yang mereka kenakan pun sama sekali tidak terbakar ketika tersentuh kobaran api dari sumbu-sumbu tersebut.
Para penonton duduk rapi mengelilingi penari dan pemusik di keempat sisi. Mereka menyaksikan dengan tegang. Suasana senyap. Tak ada penonton yang mengeluarkan suara. Yang terdengar hanya alunan lagu dan musik. Di tengah pertunjukan, penari menarik beberapa penonton ke tengah pentas. Tangan direntangkan dan api diusapkan ke tubuh mereka.
Seperti inilah atraksi tari Peppe-peppeka ri Makkah, salah satu tarian unik yang terdapat di Sulawesi Selatan. Meskipun disebut sebagai tarian khas Sulsel, namun sesungguhnya tarian ini hanya mampu dimainkan oleh para penari yang tergabung dalam komunitas seni budaya di Kelurahan Paropo, Makassar. Tarian seperti ini tak dijumpai di daerah lainnya di Sulsel bahkan di Indonesia.
Salah seorang penari, Muhammad Sahir Daeng Sitaba menceritakan awal mula munculnya tarian ini di Paropo. Menurut dia, tarian ini dibawa oleh para wali dari tanah suci Mekah ketika mereka melakukan syiar agama Islam di Kabupaten Gowa. “Karena itulah, tarian ini dinamakan Peppe-peppeka ri Makkah,” jelas Sahir. Ia mengungkapkan, Peppe-peppeka ri Makkah artinya cahaya di Mekah, yang juga bisa diartikan sebagai cahaya Islam.
Ketika para wali datang ke Gowa, Paropo merupakan salah satu daerah yang menjadi basis syiar mereka. Paropo saat itu masih menjadi bagian wilayah Kabupaten Gowa, sebelum berpisah dan bergabung dengan Makassar.
Lebih jauh Sahir menceritakan,  zaman dahulu para wali menyebarkan Islam melalui seni, dan salah satunya dengan tarian Peppe-peppeka ri Makkah. Dengan cara inilah mereka menarik perhatian orang-orang. Konon, lewat tarian ini, para Wali ingin menyampaikan ajaran Islam dan kebenaran yang terkandung dalam Al-quran. Salah satunya adalah surat Ibrahim.
Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi umat Islam yang memiliki mukjizat tak bisa terbakar api. Suatu ketika, karena Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh Raja Namrud dan rakyatnya, ia dihukum dengan cara dibakar. Namun api tak sedikit pun membuat kulitnya lecet. Kisah ini termaktub dalam Surat Ibrahim, dan menurut Sahir serta rekan-rekannya, surat itulah yang dibaca para penari saat bermain-main dengan api. Tentu saja disertai keyakinan, bahwa doa-doa yang mereka lantunkan tersebut mampu menyelamatkan mereka dari panas api.
Sahir pun menjelaskan bahwa sebenarnya, dalam melakukan syiar Islam melalui seni seperti yang diterapkan di Paropo, para wali juga melakukan di daerah lainnya. Hanya saja, daerah lain tidak ada yang berupaya melestarikan tarian tersebut. “Hanya kami di Paropo yang terus menjaga tarian ini sampai sekarang,” katanya. Alhasil, tarian ini pun tak bisa dijumpai di daerah lain selain Paropo.
Para penari di Paropo telah berkeliling daerah mementaskan tarian ini. Mereka pernah pentas di Malaysia, Singapura, dan Amerika. Ketua Sanggar Remaja Paropo, sanggar yang menaungi para penari ini, Jumkkara mengatakan salah satu impian yang ingin mereka wujudkan adalah melakukan pentas di daerah asal tarian ini, Mekah.
Bahkan di daerah asalnya tersebut pun, tarian ini tak bisa lagi dijumpai. Pada tahun 1990-an, ketika mereka melakukan atraksi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), seorang tamu dari Mekah menawarkan mereka untuk melakukan pentas di sana. Sayangnya, mereka hanya meminta 6 orang penari. Sementara anggota sanggar jumlahnya puluhan orang. “Akhirnya kami tolak, karena kami sama-sama ingin pentas di sana,” ungkapnya.
Tarian Peppe-peppeka ri Makkah telah mendarah daging bagi warga Paropo. Pada umumnya, mereka yang memiliki bakat memainkan tarian ini adalah masih generasi dari penari sebelumnya. Mereka tak pernah mencari generasi penerus, karena bakat-bakat itu selalu muncul di wajah kanak-kanak anak cucu mereka. Karena itu, ketika melakukan atraksi, penonton yang mereka tarik ke tengah pentas adalah anak-anak. Salah satu tujuannya adalah untuk menemukan anak-anak yang punya bakat untuk menjadi generasi penerus tarian ini. 

Foto-foto oleh Hariandi Hafid

Posting Komentar

0 Komentar