Orang-orang Gelisah

Di kampung saya, para orangtua mulai gelisah ketika anak-anak mereka mulai beranjak remaja. Ketika anak-anak mulai tumbuh, berarti akan semakin banyak waktu yang harus mereka habiskan untuk belajar di sekolah. Hal ini sangat bagus tentu saja, tapi itu berarti mereka membutuhkan uang lebih. Selain untuk makan, juga untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Bagi mereka, kegelisahan semacam ini tidak memiliki obat.
Orang-orang di kampung saya sebagian besar bekerja sebagai petani dan sebagian kecil adalah PNS. Sangat sedikit yang berpendidikan tinggi. Meski begitu, mereka sadar betapa pendidikan sangat penting. Dengan pendidikan tinggi, setidaknya anak-anak mereka bisa hidup lebih layak dan mengangkat citra keluarga. Para orang tua yang memiliki anak bergelar sarjana akan bangga bukan main. 
Sebelumnya, saya menganggap kemiskinan adalah hal yang biasa-biasa saja. Saya menganggapnya biasa saja karena ini bukan topik yang baru. Tentang kemiskinan, termasuk kesulitan biaya sekolah, adalah hal yang lumrah dibicarakan setiap hari. Orang-orang gelisah mencari biaya sekolah tidak terlalu memprihatinkan. Ini Indonesia. Dan hidup sebagai kalangan menengah ke bawah di negeri ini berarti harus siap dengan segala resiko tersebut.

Tema mengenai kemiskinan dan kecurangan pejabat negara yang tak memihak rakyat miskin sering menjadi topik perbincangan saya bersama teman-teman di kampus. Saya belum pernah menyadari betapa susahnya kehidupan orang miskin sebelum sore itu. Dada saya benar-benar sesak dan saya belum pernah merasa sesedih ini membayangkan mereka.
Bu Nur, salah seorang tetangga kami datang ke rumah. Kakak saya meminta bantuannya membuat kue. Ia datang dengan senang hati. Di rumahnya sendiri, ia jarang punya kesempatan membuat kue. Kami duduk berkumpul, menyiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan. Dan saya iseng bertanya mengenai perkembangan sekolah anak-anaknya.
Putra sulungnya, Sandy, sedang menginjak kelas 3 SMA dan sebentar lagi menempuh ujian kelulusan. Saya bertanya ke universitas mana Sandy hendak melanjutkan pendidikan setelah lulus nanti. Bukannya menjawab, ia malah tertawa terbahak-bahak. Bagi dia, sekolah seperti lelucon.
“Untuk bisa sampai ke SMA saja, saya berjuang setengah mati. Untuk makan saja susah,” ujarnya.
“Lalu bagaimana?” saya mencecar.
“Setelah lulus dia tidak akan kemana-mana. Dia akan tinggal di rumah,” katanya masih sambil tertawa.
Saya menyayangkankan keputusannya. Sandy anak yang cerdas. Di kelasnya, ia selalu mendapat peringkat 3 besar. Tapi bagaimana pun, Bu Nur tak biasa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang janda yang tanpa warisan. Pada musim tanam dan panen, ia bekerja sebagai buruh di ladang milik orang lain. Dulu, Sandy pernah bekerja di kebun kelapa milik bapak saya. Pohon-pohon kelapa di sana ia panjati, untuk kemudian ia sadap dan niranya ia olah menjadi gula merah. Bapak saya menyiapkan segala peralatan untuknya. Hasilnya ia jual untuk menambah biaya sekolahnya. Tapi kemudian ia berhenti karena tidak bisa membagi waktunya untuk sekolah dan bekerja setiap pagi dan sore hari.
Di sela-sela acara membuat kue, Bu Nur mengutuk Gubernur terpilih. “Katanya, kalau terpilih biaya sekolah akan gratis hingga SMA. Ternyata bohong,” ucapnya. Ia mengatakan menyesal ikut pemilu. “Kalau tau begini, mending saya golput saja dari dulu. Omongan politisi benar-benar tidak ada yang dapat dipercaya sama sekali!”
Ia gelisah. Pekan ini Sandy mesti membayar biasa sekolah. Di sekolah setingkat SMA, ada biaya komite yang dipungut untuk anak-anak sekolah. Besarnya Rp 100 ribu per bulan. Para orang tua mulai bersorak gembira ketika uang komite dihapuskan, katanya sebagai bukti janji gubernur (Saya tidak tahu ini benar atau tidak. Saya tidak pernah tertarik memperhatikan janji-janji macam apa saja yang diumbar calon gubernur). Tapi kegembiraan itu hancur kembali saat ada uang pungutan lain. Namanya biaya partisipasi siswa, dengan nominal yang sama dengan uang komite yang telah dihapuskan sebelumnya.
Ia juga menceritakan tentang anak bungsunya yang kini duduk di kelas 2 SMA dan tengah mengikuti praktek lapang di kantor PLN setempat. Sama halnya dengan Sandy, si bungsu pun terancam tidak bisa melanjutkan sekolah.
Kantor PLN tempat anaknya mengikuti praktek lapang jauh dari tempat tinggal kami. Selama 4 bulan waktu yang ia butuhkan untuk mengikuti praktek lapang tersebut, ia harus menginap di kantor. Anak bungsunya tak bisa sarapan setiap hari untuk berhemat—namun ia tertawa karena menganggap hal itu lucu—makan siang ketika ada karyawan yang berbaik hati membelikannya nasi bungkus, dan menggunakan uang simpanannya yang tak seberapa untuk membeli makan malam.
Sambil terus membuat kue, kami terus bercerita sambil tertawa-tawa. Setelah usai membicarakan anak-anaknya, kami mulai berdebat apakah kue buatan kami sudah manis atau belum. Kami mulai bergantian mencicipi lalu kebingungan sendiri, rasa manis versi siapa yang harus kami percayai.
Begitu acara membuat kue selesai, ia beranjak pulang ke rumahnya. Tawa berderai pun mereda. Dan saya sadar bahwa begitu ia kembali ke rumahnya sendiri, tawa itu akan benar-benar lenyap saat ia kembali memikirkan biaya sekolah untuk anak-anaknya. Bu Nur tidak sendirian. Banyak orang lain yang tentu mengalami kegelisahan serupa dengannya.
Saat ia menghilang, seorang tetangga kami yang lain datang. Seorang lelaki yang hendak meminjam uang dengan memohon-mohon. Anaknya harus membayar uang sekolah dan ia tak punya uang sama sekali. Uang sekolah itu haru lunas pekan ini juga. Rp 300 ribu!        
Makassar, 11th March     

Posting Komentar

0 Komentar