Percakapan di Persimpangan Jalan

Iblis dan Malaikat
Berdiri berhadapan di persimpangan jalan
Jalan ke kiri menuju neraka; api berkobarkobar
Jalan ke kanan menuju surga; bidadari elok dan kolam susu

“Betapa banyak manusia masuk neraka karena ulahmu,” Malaikat berkata

Iblis terbahakbahak. Tawa menggema seantero barzah
“Apalah daya, aku dikutuk sebegitu rupa.
Hanya karena menolak bersujud di kaki Adam…

“Jiwamu penuh dengki.”

“Aku dicipta dengan rasa iri dari api. Dan kau dari cahaya.
Lalu apa arti sebuah takdir? Mengapa kita tak bertanya, agar kita punya pilihan
Seperti manusiamanusia itu. Pertanyaanlah yang memberi mereka pilihan:
Kobaran api atau istana megah…

“Tahukah kau? Surga dan neraka sama mengerikan. Sakit yang abadi dan nikmat yang tak usai.
Oh, bukankah segala sesuatu lebih serasi jika berpasangan?
Kita butuh tawa untuk mengurai rasa sakit.
Dan bahagia yang tak berkesudahan betapa menjemukan.”

“Apakah iblis sepertimu memiliki air mata?”

Mereka saling melirik
Dendam yang beku seketika leleh oleh senyum
“Aku baru tahu bahwa Iblis bisa tersenyum.”
Dan tawa membahana

Mereka sepakat mengaso sejenak
di sudut persimpangan jalan itu. Lelah
Betapa banyak putaran masa telah terlewati
Bersama tekateki yang tak jua terjawab

“Tugas kita sudah usai,” Iblis berbisik.

“Tugas kita sudah usai,” Malaikat menimpali.

“Tapi kita tetap tak punya pilihan,” keduanya serempak.
“Lalu setelah ini apa lagi? Akankah takdir masih berlanjut?”

Betapa Tuhan tak tertebak
Bahkan oleh makhluk yang Ia cipta selagi belum ada jarum waktu…

Makassar, Februari 2011

Posting Komentar

0 Komentar