Jendela

Ketika senja mulai meluruh ke bumi, ia akan duduk di depan di jendela. Selalu, hampir setiap hari. Ia tahu tak ada yang berbeda di setiap senja yang hadir dalam hari-harinya. Semua senja sama saja. Cokelat, kelabu, hitam, dan sunyi. Tapi ia selalu merindukan desau angin pada waktu senja. Menurutnya, angin senja berbeda dari angin yang berhembus pada pagi atau siang hari. Angin senja lebih romantis. Kadang ia duduk di sana sampai malam larut dan tersadar bahwa lampu di kamarnya belum menyala.

Di sebuah senja Bulan Oktober, dari jendela itu ia menatap sekelompok anak kecil yang sedang asyik bermain layangan di atas sebuah tanah kosong, persis di depan jendelanya. Di atas tanah kosong itu dulunya tumbuh pepohonan yang rimbun. Ada pohon jati, mangga, dan mahoni. Empat hari yang lalu, saat ia kembali dari Bangkok, ia terkejut melihat tanah itu gundul. Salah seorang tetangganya memberi tahu kalau di atas tanah itu akan dibangun rumah susun. Ia hanya mengangguk-angguk. Dalam hati ia tak rela. Setiap pagi, ia terbangun oleh kicauan burung yang hinggap di atas pohon-pohon itu. Baru dua bulan ia meninggalkan jendelanya, dan sebuah pemandangan yang sangat berbeda terhampar di hadapannya kini.

Tanah itu kering kerontang. Mungkin karena kemarau panjang. Mungkin juga karena merana. Bukankah tanah dan pepohonan yang tumbuh di atasnya adalah pasangan paling serasi? Mereka saling membutuhkan. Ketika keduanya dipisahkan, maka yang tercipta adalah kehampaan. Dan ia merasa sangat iba melihat hamparan tanah kecoklatan itu.

Tapi kemudian ia mendapatkan keasyikan lain: memandangi anak-anak bermain layangan. Anak-anak itu tampak bahagia.
Ia melambaikan tangan, tersenyum. Seorang anak menoleh ke arahnya sesaat, kemudian kembali mengalihkan perhatian ke atas angkasa sambil menarik benang layangannya. Mungkin anak itu menganggap dirinya sinting. Anak itu menurunkan layangannya, bersiap untuk pulang. Anak-anak yang lain mengikuti. Dan sesaat kemudian, yang ada di hadapannya tinggal hamparan tanah coklat. Mungkin beberapa saat lagi akan berubah jadi kelabu, kemudian hitam, lalu sunyi.

Ia kecewa. Ia masih ingin meyaksikan anak-anak itu bermain layangan. Hanya itu yang akan menjadi hiburannya setiap hari. Selama musim kemarau setidaknya. Karena dalam musim penghujan tak akan ada anak-anak yang bermain layangan di sana. Diam-diam ia berharap semoga ia sudah pergi lagi sebelum musim penghujan datang.

Angin senja yang bertiup membuat kuduknya meremang. Ia meraih sweater rajutannya dari sandaran kursi. Memasangnya rapat di tubuhnya. Tapi kemudian ia merasa gerah. Akhirnya ia memakai sweater itu dengan kancing terbuka. Kembali ia menekuni hamparan tanah coklat di depan jendelanya. Seorang anak kecil bertelanjang dada sedang jongkok di sana, meraih gulungan benang. Setelah itu, ia berlari pergi. Anak itu melupakan benang layangannya. Sunyi lagi.

Tiba-tiba ia melihat pemandangan lain di sana. Tak ada hamparan tanah coklat. Yang ada hanya hamparan pasir. Sebuah pantai. Suara ombak menderu-deru, memukul-mukul karang yang berdiri kokoh di tepian. Perahu-perahu nelayan yang tertambat diombang-ambingkan gelombang laut.

Ia mengucek mata. Pemandangan itu tak jua berubah. Empat orang anak kecil datang berlari-lari. Tiga orang anak laki-laki berkulit hitam dengan tubuh yang hampir sama besar, dan seorang anak perempuan berambut panjang, yang tubuhnya jauh lebih kecil dan kulitnya jauh lebih putih. Ketiga anak laki-laki itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek lusuh. Sementara yang perempuan mengenakan kaos berwarna biru tua dan rok berwarna hitam dengan motif mawar merah jambu.

Mereka berlari-lari riang di atas pasir. Sesekali berdiri di tepi laut, menjemput air yang akan datang dari tengah, kemudian menghempas ke tepi dan membasahi tubuh mereka hingga ke pinggang.

Ketiga anak laki-laki itu masuk ke dalam air, berenang. Tampaknya mereka sedang berlomba mencapai sebuah perahu yang ditambatkan pada sebilah tiang, yang dipancangkan dalam air. Si bocah perempuan berteriak-teriak dari tepi. Ia ingin ikut masuk ke air tapi takut. Ia belum bisa berenang. Anak laki-laki yang paling besar kembali ke pantai. Ia meraih bocah perempuan itu dan mendudukkannya di atas bahu. Meraka kembali berendam dalam air laut.

Seekor burung gereja terbang meliuk di hadapannya. Kenangan itu buyar.

Semua itu terbingkai dalam potret kenangan 32 tahun silam. Saat ia masih betah bermanja-manja di pangkuan ibunya. Saat ia masih senang membonceng sepeda tua bapaknya menyusuri jalan berbatu di kampungnya. Selamanya akan jadi kenangan. Dan baginya, kenangan seperti hantu. Menakutkan. Karena ia selalu datang mengusik di saat sepi. Memaksanya merasakan kerinduan yang tak ia tahu bagaimana mengobatinya.

Dan bahkan kerinduan sebesar gunung tak mampu memaksanya untuk pulang. Ia selalu ingin pergi. Pergi ke tempat dimana ia tak merasa seperti alien yang tersesat di bumi. Pergi ke tempat dimana manusia tak menganggap hidup terlalu simpel untuk dijalani dengan hal yang biasa-biasa saja. Tak ada yang bisa memaksanya tinggal. Pun seorang lelaki yang pernah mengikatnya dengan tali pernikahan.

Banyu menyerah di suatu malam buta, delapan bulan setelah mereka mengucapkan ijab kabul. (Bahkan Banyu tak tahu, apakah ia tulus mengucapkan janji sehidup semati itu. Karena ia mengucapkannya dengan ekspresi wajah yang tak tertebak).
Ketika mereka seharusnya terlelap di alam mimpi, Banyu bangun dan terisak. Lelaki itu menangis. Ia bingung melihat sikap Banyu. Refleks ia bangkit dan duduk di atas tempat tidur seperti patung. Ia ingin menanyakan apa penyebabnya. Tapi mulutnya terkunci. Lidahnya kaku. Ia tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya bisa mereka-reka jawaban yang memungkinkan dari pertanyaan tak terucap itu.

Tadi sore, ia meminta ijin Banyu untuk berangkat ke New York tiga hari ke depan. Bukan minta ijin. Mungkin tepatnya adalah memberi tahu. Karena ia toh tak akan peduli Banyu mengijinkan atau tidak. Ia akan tetap pergi.

Isakan Banyu makin menjadi. Ia menangkupkan kepalanya di pinggiran tempat tidur. Lampu tidur yang memancarkan sinar kuning keemasan membuat cahaya di kamar itu meremang.

“Aku tak pernah bisa memasuki duniamu.” Suara Banyu bergetar.

Ia tersentak, tapi masih tetap duduk mematung.

“Sepertinya kau lebih bahagia jika kau menikmati hidupmu sendirian.” Ia merasakan tamparan di wajahnya.

“Mungkin kita harus berpisah, agar kau bebas tanpa perlu merasa terbebani oleh statusmu sebagai seorang istri.” Ia merasakan sengatan listrik di sekujur tubuhnya.

“Aku mencintaimu, Danisha. Tapi jalan terbaik adalah kita bercerai. Ia merasakan langit runtuh.
Bahkan ia tak tahu apakah ia mencintai lelaki itu atau tidak.

Dan setelah malam itu, ia sibuk bolak-balik ke pengadilan. Ia batal ke New York. Hatinya terlalu perih. Ia tak bisa pergi di saat yang kacau. Ia akan pergi, nanti setelah urusan di pengadilan selesai.

Ia senang bepergian. Banyu merasa tak pernah mendapatkan perhatiannya secuil pun. Hingga kini, ia tak pernah memberitahu pada keluarganya tentang kesendiriannya. Ia tak pernah memberitahu mereka kalau kini ia hidup tanpa Banyu lagi. Ia jarang berkirim kabar. Kampungnya terlalu jauh. Di sebuah pulau yang jauh dari keramaian.

Terakhir kali ia pulang ketika ibunya meninggal. Kakaknya yang paling tua menelpon agar ia kembali. Ibunya sakit keras dan ingin bertemu dengannya. Ibunya meninggal sehari setelah ia tiba. Ia pergi dengan sebuah pesan. “Sering-seringlah pulang menengok ayahmu. Kakakmu lelaki semuanya. Setelaten-telatennya anak lelaki, akan lebih telaten anak perempuan dalam mengurus orang tua.”

Ia mengangguk sambil menangis. Anggukan itu berarti ia berjanji pada ibunya. Namun ia tak pernah memenuhi janji itu semenjak ibunya meninggal. Ia tak pernah ingin menemui ayahnya. Bahkan malam ketika ibunya meninggal hingga ia kembali dua hari kemudian, ia tak pernah sanggup menatap wajah ayahnya.

Wajah itu selalu membuatnya ketakutan sejak kecil. Wajah yang selalu menghantuinya dalam mimpi dan membuat ia tak mampu tidur nyenyak.

Setiap malam, menjelang tidur ibunya akan menceritakan sebuah dongeng. Begitu ia tertidur, ibunya mematikan lampu dan keluar kamar dengan langkah kaki pelan, takut ia terbangun lagi.

Ayahnya yang selalu pulang melaut menjelang subuh masuk ke rumah melalui pintu belakang. Setiap malam pintu belakang tak dikunci. Dari arah dapur, sebelum mencapai kamar induk, ayahnya akan melewati kamarnya. Meskipun sedang tertidur lelap, ia akan langsung terbangun mendengar langkah kaki ayahnya yang seperti sengaja dibuat sepelan mungkin agar tak membangunkan penghuni rumah lain.

Ketika pintu kamarnya berderit pelan, ia ingin menjerit. Ia menggigil ketakutan. Ayahnya menyalakan lampu sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir.

“Jangan bersuara. Kalau tidak, aku akan membuangmu ke laut. Biar tubuhmu jadi makanan hiu.”

Ia benar-benar diam. Kata hiu selalu membuatnya bergidik. Beberapa bulan lalu, seorang tetangganya hilang di laut. Menurut cerita orang-orang, tubuhnya dimakan hiu. Sejak kecil ia ditanamkan rasa takut pada ikan pemangsa daging itu.

Ayahnya merengsek naik ke tempat tidur, memaksakan tubuhnya yang besar muat di atas tempat tidur yang mungil. Ia gemetaran. Sesaat kemudian ia merasakan rasa sakit yang amat sangat di bagian bawah tubuhnya. Ia menangis terisak. Ayahnya mengambil kain sarung dan meyumpal mulutnya.

“Kamu sudah besar, Danisha. Tak percuma aku memungut tubuh mungilmu dulu dari pantai.”

Ayahnya membuka sumpal mulutnya. Lampu dimatikan kembali. Ayahnya keluar. Dia mendengar pintu kamar ibunya berderit terbuka.

Rasa perih itu berlangsung hampir setiap malam. Rasa perih di sekujur tubuhnya mampu ia tahan. Namun perih di hatinya akan selalu terpelihara. Kekal dan utuh sampai kapan pun. Mungkin akan tetap terasa sampai ia mati. Ia ingin menangis. Ia ingin menjerit. Tapi ia takut airmata akan membuat matanya bengkak keesokan paginya. Maka ia hanya berbaring telentang menghadap langit-langit kamarnya hingga pagi tiba.
Saat ibunya mengetuk pintu kamarnya, ia tersadar matahari pagi telah memancarkan sinarnya.

“Saatnya sekolah, Danisha. Cepat mandi!” terdengar suara ibunya.

“Aku sudah bangun, Bu,” jawabnya.

Ibunya membuka pintu.

Ia memaksakan bibirnya tersenyum. Jauh di sudut hatinya, perih itu masih terasa. Bahkan makin menjadi-jadi.
Ibunya menangis ketika ia menyampaikan kenginannya meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah di kota. Di kampung mereka, anak perempuan pada umumnya menikah setelah tamat sekolah menengah pertama. Ikut suaminya yang kebanyakan bekerja jadi nelayan.

“Apa karena kami bukan orang tua kandungmu? Kamu ingin pergi dari rumah ini?” ibunya berkata sambil memandang ke laut lepas. Teras rumah mereka menghadap langsung ke pantai.

“Aku ingin sekolah. Aku ingin jadi anak pintar.” Suaranya bergetar.

Ibunya mengiringi kepergiannya dengan menangis.
Ibunya tak ingin memberitahu kalau ia bukan anak kandung dalam keluarganya. Tapi mana mungkin rahasia itu bisa disembunyikan sekian lama jika semua orang yang berpapasan dengannya selalu menatapnya dengan tatapan aneh?
Rambutnya yang kemerah-merahan, kulitnya yang terlalu putih untuk ukuran orang-orang pesisir, bola matanya yang berwarna turquoise, semua itu menarik perhatian orang-orang untuk mengorek asal-usulnya. Tubuhnya terombang-ambing dibawa gelombang laut, di atas sebuah sekoci, ketika masih berumur bulanan.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Ia bangkit, menutup jendela dan membuka pintu kamarnya.

Seorang bocah perempuan mungil berdiri di depan pintunya. Ia tersenyum. Bocah itu Nuning, anak tetangga sebelah. Mereka sudah akrab. Ia meraih lengan bocah itu agar masuk ke kamarnya. Nuning mengenakan kaos putih dengan gambar pasar apung di bagian depan. Ia yang membelikan baju itu untuk Nuning di Bangkok.

“Ada apa, sayang?”

Nuning meletakkan sebuah kantong plastik berwarna hitam di atas meja. ”Aku membawa puding buatan ibu untuk tante.”Ia membelai rambut Nuning. “Sampaikan terima kasih tante buat ibu, ya!”

Nuning mengangguk, kemudian melangkah keluar.

“Kamu nggak mau tinggal dulu? Kita bisa ngobrol,” katanya menawarkan.

 ”Ibu menunggu di depan. Kami mau ke rumah sakit. Adik sepupu Nuning masuk rumah sakit.”

Ia menghela nafas, memandang langkah-langkah kecil bocah itu menuruni tangga.

Jika ia sedang ada di rumah, Nuning selalu mengunjunginya setiap pulang sekolah. Mereka mengobrol banyak hal. Ia selalu menceritakan pengalaman-pengalamannya di luar negeri kepada Nuning. Nuning berkata ingin jadi orang hebat seperti dirinya, agar bisa selalu bepergian ke luar negeri. Nuning berpikir bahwa dirinya orang hebat. Bocah itu tak mengerti kalau ia bepergian hanyalah untuk sebuah pelampiasan. Mencari kebebasan untuk menghilangkan perasaan kebas di sekujur tubuhnya. Nuning juga sering memergoki dirinya sedang duduk di depan jendela.

“Kenapa tante selalu duduk di jendela tiap senja?”

 “Karena senja itu romantis.”

 “Apa itu romantis?”

Ia diam.

 “Kita ngobrolnya besok saja,” teriak Nuning dari bawah sambil melambaikan tangan. Ia mengangguk. Nuning berlari keluar. Sepi lagi.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan: Mau merayakan ulang tahunmu dimana? Kamu jadi kan, ke Singapura minggu depan?
Pesan itu dari Donna, sahabatnya yang tinggal di Singapura.
Ia melirik kalender di atas meja. Delapan hari lagi ulang tahunnya yang ke 42. Rasa sepi kembali menohok jantungnya. Diraihnya sebatang rokok dari laci meja. Ia kembali membuka jendela. Di luar hitam pekat. Bulan sabit tak cukup memberi cahaya. Sinarnya terhalang awan hitam.

Ia merasakan kerinduan itu lagi. Ia rindu suara ibunya yang lembut. Ia rindu berlari-lari di atas permukaan pasir yang berwarna putih. Ia rindu suara ombak yang selalu ia dengar dari teras sebuah rumah panggung. Ia rindu dibonceng dengan sepeda tua di atas jalan berbatu. Tapi ia tak pernah ingin pulang.
Asap rokok mengepul keluar dari sela-sela bibirnya, berbaur dengan angin malam yang berhembus syahdu. Ia tersenyum memandang kepulan-kepulan putih di tengah gelap malam. Tapi untuk malam sesunyi itu, isak tangisnya bahkan mampu mengalahkan suara jangkrik yang bersembunyi di balik semak-semak.


Makassar, 15 Desember 2009
Dimuat di Harian Fajar edisi 17 Desember 2009

Posting Komentar

0 Komentar