Hujan dan Semangkuk Bakso (Pengalaman Bersama Keluarga Kecil Identitas)

Seolah sudah menjadi tradisi di rumah kecil (identitas) kami, setiap ada orang terdekat—senior, teman, pegawai di kampus—yang mengadakan hajatan, kami selalu diundang. Salah satu hal yang tidak bisa kami lewatkan adalah makanan gratis. Setiap kami mendapat undangan, tak peduli siapa yang undang dan tak peduli seberapa pun jauhnya, yakinlah kami pasti datang. Kali ini undangan datang dari Kak Dahlan Abubakar, ketua penyunting kami di PK identitas. Beliau dan keluarga mengadakan acara aqiqahan cucu pertama. Dan kami pun berbondong-bondong ke sana. Karena kami tahu di sana pasti banyak makanan enak.

Beberapa orang berangkat dengan naik motor. Yang lain—termasuk saya—naik angkot. Kak Dayat, Redaktur Pelaksana kami yang juga berangkat dengan menggunakan sepeda motor memberikan dua lembar uang dua puluhan kepada Dinar, salah seorang reporter. Jadi kami diberi empat puluh ribu rupiah untuk ongkos pulang-pergi naik angkot.  Selain saya dan Dinar, yang berangkat bersama kami ada Kak Yani, Anti dan seorang anak magang. Kami pun bergegas menuju halte untuk menyetop angkot.

Tapi cuaca sedang tak bersahabat. Baru saja tiba di halte, hujan turun dengan derasnya. Sangat deras. Ya, setidaknya hujannya turun ketika kami sudah tiba di halte, jadi kami tidak basah. Kami tak dapat berbuat apa-apa. Dalam hati saya mengumpat hujan. Perut kami sudah keroncongan. Kami sengaja tidak makan siang karena takut begitu tiba di tempat hajatan kami tidak bisa makan lagi. Sementara hujan, bukannya ada tanda-tanda akan reda, malah kian deras.

Satu lagi masalah yang kami hadapi: ternyata di antara kami, tidak ada yang tahu pasti alamat rumah kak Dahlan. Kami sms ke kru lain, tidak ada yang membalas. Kami telpon, tidak ada yang mengangkat. Jadilah kami hanya duduk termangu di halte. Kami tak mungkin berangkat tanpa tahu alamat pastinya. Kami juga pasti akan kena marah sopir angkotnya jika naik tanpa tahu arah tujuan yang pasti. Sambil menunggu sms dibalas, kami berharap hujan segera reda. Akan lebih mudah mencari alamat dalam keadaan tidak sedang hujan.

Sebuah pemandangan lain di seberang jalan menggoda kami. Di samping gedung Baruga yang biasanya dipakai untuk acara wisudahan—kebetulan acara wisudahan akan berlangsung besok harinya—berjejer rapi pedagang bakso. Ada empat buah gerobak bakso. Sambil memandanginya, saya menerka-nerka mana bakso yang paling enak. Rasanya perut kian keroncongan. Dan saya yakin demikian juga dengan teman-teman saya ini. Maka saya pun mengajak mereka berunding: tetap berangkat ke tempat hajatan atau menggunakan uang empat puluh ribu ini untuk makan bakso.

Kak Yani dan Anti setuju. Dinar masih ragu-ragu. Takut kena marah Kak Dayat. Tapi saya memberi alasan yang meyakinkan: sekarang sedang hujan deras, tak ada yang tahu alamatnya, sms kami tidak dibalas, perut keroncongan dan kalau kami menunggu lebih lama lagi, Dinar bakal telat kuliah.

“Kak Dayat tidak bakal marah,” kata saya.

 Maka kami pun berlari menerobos hujan ke seberang jalan menuju tempat penjual bakso tersebut. Karena rasa lapar yang melilit plus kedinginan, kami makan dengan lahap. Baksonya sih sebenarnya tidak terlalu enak. Bahkan kalau saya bilang sih, sangat tidak enak. Tapi apa boleh buat? Kami sudah terlalu lapar. Dan hujan ini memang menyebalkan. Begitu kami selesai makan, hujan pun reda. Dengan mengantongi uang kembalian tujuh ribu rupiah, kami kembali ke sekret identitas.

Beberapa orang teman di sana keheranan karena kami kembali terlalu cepat. Padahal rumah kak Dahlan lumayan jauh. Lalu kami mulai mengarang cerita. Seolah-olah kami benar-benar telah kembali dari rumah Kak Dahlan, kami sok menceritakan suasana hajatan di sana. “Di rumah Kak Dahlan kami makan bakso,” kata kami kompak, menjawab pertanyaan teman-teman di sekret. Teman-teman kami ini sebenarnya akan berangkat juga ke sana tapi tertahan oleh hujan.

Kebohongan kami terbongkar saat Kak Dayat menelpon ke HP saya dan bertanya: “Kalian di mana?” Saya pun membuat alasan lagi: hujan dan harus kuliah. Ketika Kak Dayat kembali dari sana, ia meminta kembali uang empat puluh ribu rupiah yang sebelumnya diserahkan kepada Dinar. Dengan jumawa, Dinar  meyerahkan uang tujuh ribu rupiah.

“Mana yang lainnya? Kenapa cuma segini?” tanya Kak Dayat.

“Ada sama Kak Anies,” jawab Dinar.

Kak Dayat tampak kesal. Sebelumnya ia sudah saya sms kalau uangnya kami pakai untuk makan bakso. Tapi mungkin ia shock melihat uangnya berkurang banyak. Sementara Dinar cuma tertawa-tawa cengengesan. “Bukannya kita sepakat harus sama-sama bertanggungjawab? Kenapa kamu bilang uangnya sama saya?” Dinar bukannya menjawab, ia malah tertawa semakin keras. Rasanya saya ingin menjitak kepalanya karena kesal.

 Karena takut, saya meminta mereka mengganti uang tersebut. Tapi sekali lagi, mereka hanya tertawa-tawa. Katanya tidak punya uang. Lagian siapa suruh tidak memberi tahu alamatnya. Dan kami tahu wajar jika Kak Dayat kesal. Karena uang itu milik pribadinya. Saya ingin menggantinya. Tapi rasa-rasanya saya tidak rela juga kalau saya yang mengganti semuanya. Maka jadilah…  Semoga semangkuk bakso yang telah masuk ke perut kami itu tetap halal. Kak Day, maafkan kami. ***

Posting Komentar

3 Komentar

Unknown mengatakan…
di gantika kak uangnya??? astaga berdosaku... tapi lucu kak, sampai ngakak ka ini tidak keruan..
Unknown mengatakan…
ngakak ka kak bacaki.. ampun ka senior...
Unknown mengatakan…
Tidak kuganti karena saya juga nda punya uang wktu itu. hahaha